Pada tahun 1967, Hamka beserta istri dan satu anaknya, yaitu penulis, mendapat kuota istimewa untuk berhaji. Hadiah dari Pejabat (Pd) Presiden Soeharto. Perjalanan haji di masa itu menggunakan kapal laut.
Di Masjid dalam Kapal, Hamka seringkali diminta menjadi imam sholat berjamah dan memberi kultum (kuliah tujuh menit) selepas sholat.
Selama dua belas hari perjalanan di laut lepas tak bertepi, ada satu fragmen yang membuat terenyuh. Yakni wafatnya jamaah calon haji di atas kapal. Jenazah yang sudah dikafani dan disholatkan mau tidak mau harus segera ditenggelamkan ke dalam laut karena belum mendapati daratan.
Selepas melaksanakan ibadah Haji, mereka mendapatkan undangan mengunjungi Mesir dan Suriah oleh Duta Besar dari Indonesia. Tak cukup sampai disitu, lawatan mereka bertiga juga berlanjut ke Lebanon, Irak, Kuwait, dan Riyadh.
Ada satu kebiasaan Hamka yang diungkap penulis, yaitu mengaji Al-Qur’an sebelum tidur. Kebiasaan itu tak pernah ditinggalkan sekalipun dalam perjalanan jauh. Hamka kerap membawa Al-Qur’an kecil untuk dibaca.
Ada beberapa pengalaman menegangkan yang hampir saja menghantar mereka pada maut. Ketika melanjutkan perjalanan dari Suriah menuju Irak, pesawat yang mereka tumpangi mengalami goncangan di ruang hampa udara.
Hal ini sempat membuat Ummi -sapaan istri Hamka- trauma naik pesawat. Akhirnya, mereka pulang ke Mekkah melalui perjalanan darat selama tiga hari empat malam.
Dalam perjalanannya, mereka hampir di terjang angin topan gurun ketika melewati gurun pasir. Bahkan hampir mengalami kecelakaan fatal ketika sopir mereka yang bernama Umar, tertidur sambil menyetir.
Ketika sampai di Thaif, mobil yang mereka tumpangi melewati jalan yang membelah Gunung Granit. Dalam keadaan hujan lebat dan jalan yang terjal berkelok-kelok, hampir saja mobil tersebut terhempas jatuh ke lereng Gunung Granit karena air bah muncul dari sisi tebing.
Lolosnya mereka dari maut tidak lepas dari kebiasaan Buya Hamka yang rutin mengaji Al-Qur’an sekalipun dalam perjalanan, termasuk di pesawat dan mobil. Inilah sebab kenapa Hamka begitu tenang di tengah kecemasan padahal nyawa mereka terancam. Hamka tidak pernah melepas dzikir, mengaji, dan selalu ingat kepada Allah di mana pun dan kapan pun.