Hamka dikenal sebagai seorang ulama yang kerap menjadi tempat curahan hati dan konsultasi seputar permasalahan hidup dari berbagai lapisan masyarakat. Selain rutin memberikan tausyiah Kuliah Subuh di RRI dan Mimbar Jumat TVRI, masyarakat juga banyak yang datang langsung kerumahnya.
Masa kecil penulis diawali dengan sekelumit kisah di Kota Padang Panjang tahun 1948. Ketika penulis masih berusia 5 tahun, Hamka turut berjuang melawan penjajahan Belanda di Sumatera Barat dengan memimpin BPNK (Barisan Pengawas Nagari dan Kota) dan FPN (Front Pertahanan Nasional). Itulah kenapa Hamka menjadi target penangkapan Belanda.
Tak mudah bagi istri dan anak-anak Hamka hidup di masa itu. Dalam keadaan serba kekurangan, mereka harus sering berpindah tempat menghindari kejaran Belanda. Menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, masuk keluar hutan sampai menyebrangi sungai yang arusnya deras.
Sebagai Ayah dari 12 putera puterinya -2 di antaranya wafat ketika balita- , Hamka sangat berperan dalam membentuk kepribadian 10 anaknya. Tak jarang Hamka mengajari langsung anak-anaknya mengaji Al-Qur'an ketika guru mengaji mereka berhalangan datang.
Hamka juga mengajari putera-puteranya beladiri silat. Latar belakang Hamka muda dikenal sebagai seorang pendekar Silat yang cukup disegani di Sumatera Barat.
Hal menarik lain yang diceritakan oleh Penulis yakni ketika rumah baru mereka di huni oleh Jin. Anak-anak Hamka menyebut makhluk gaib yang mendiami rumahnya dengan sebutan 'Innyiak Batungkek' yang artinya Kakek Bertongkat. Karena kerap terdengar suara aneh seperti ketukan tongkat tiap jam 12 malam.
Di sinilah Hamka menunjukkan keistimewaannya. Ia memandang Jin tersebut sebagai makhluk ciptaan Allah yang harus diperlakukan selayaknya Hamba Allah. Diawali dengan dzikir, Hamka mencoba 'berdialog' dengan Jin tersebut. Hamka dan Jin berkompromi membuat kesepakatan agar Jin tak lagi menganggu keluarganya dirumah.