Identitas nasional (national identity) memegang peranan penting dalam nation branding. Pemahaman dan kesadaran pada fitur inti identitas nasional merupakan prasyarat dalam membangun kampanye nation branding.
Brand suatu negara berasal tidak hanya dari perusahaan dan brand-brand yang ada dalam suatu negara, misalnya Toyota identik dengan Jepang.Tetapi brand suatu negara juga berasal dari budaya dalam arti luas seperti bahasa, literatur, musik, olahraga, arsitektur, dan hal lainnya yang mewujudkan ‘jiwa’ dan kepribadian suatu negara.
Nation-brand yang berakar pada budaya bangsa akan menjadi diferensiator paling autentik. Fitur fundamental dari identitas nasional mencakup: wilayah bersejarah, tanah air, mitos umum, dan kenangan historis, budaya publik, hak hukum bersama, aturan ekonomi, dan lain sebagianya.
Kebanggaan dan emosi yang kuat dalam identitas nasional, salah satunya diwujudkan pada event-event internasional seperti misalnya olahraga. Event ini menunjukkan bahwa di tengah era globalisasi, identitas nasional tetap relevan dan masih menjadi konsep yang powerful.
Manifestasi visual dari identitas nasional adalah sesuatu yang familiar bagi kita seperti bendera, yang merupakan ekspresi visual yang paling ampuh dalam identitas nasional. Bendera negara juga sering digunakan sebagai visual shorthand oleh produk, yang berupaya untuk menegaskan country of origin (COO).
Elemen budaya telah menjadi elemen yang paling intangible dan membedakan bagi setiap populasi dan negara. Perspektif budaya pada identitas nasional menurut Hall, dibedakan menjadi budaya ‘high-context’ dan ‘low-context’.
Budaya ‘high context’ misalnya Jepang, Arab, China yang memiliki gaya komunikasi tidak langasung serta menghargai kemampuan menginterpretasikan sinyal-sinyal non-verbal.
Sedangkan budaya ‘low-context’ seperti USA dan UK, dimana perilaku non-verbal sering diabaikan dan bukan menjadi perhatian utama. Sehingga komunikator dalam budaya ini perlu lebih terbuka dan ekplisit dalam menyampaikan informasi.
Perbedaan lainnya, juga berpengaruh pada komunikasi dan hubungan cross-cultural. Sebagai contoh dalam budaya ‘high-context’, hubungan cenderung lebih bertahan lama, kesepakatan cenderung diucapkan daripada ditulis, insider dan outsider secara jelas terlihat bedanya, dan pola budaya sudah mendarah daging serta lambat untuk berubah. Sedangkan pada ‘low-context’, berlaku karakter yang sebaliknya.