Hidup modern di kota besar, khususnya Jakarta, penuh kejutan. Masyarakat sepertinya tidak peduli dengan tekanan hidup yang keras. Mereka juga tidak peduli dengan mahalnya hidup di kota besar. Tidak hanya di kalangan masyarakat yang berkantong tebal, tetapi hal ini juga terjadi di kelas menengah sampai sebagian kelas bawah.
Fenomena yang terjadi pada dua kelompok terakhir menjadi sangat menarik. Dalam situasi perekonomian yang tidak terlalu baik, kedua segmen terakhir tersebut adalah yang paling merasakan tekanan.
Akibatnya mereka akan berusaha mengubah pola belanja. Fakta menunjukkan dorongan nafsu belanja lebih kuat dibanding berpikir rasional untuk mengatur prioritas belanja dari uang yang terbatas.
Karena pengaruh lifestyle, masyarakat menaikkan tingkat prioritas barang atau jasa kebutuhan berbau lifestyle pada prioritas pembelian barang atau jasa yang dianggap lebih penting dan bermanfaat (utilitarian purchases).
Para pakar psikologi mengemukakan menstimulasi faktor psikologi dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan dan berperilaku.
Hal tersebut karena pada dasarnya manusia memiliki pola atau ritme dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya, keilmuan perilaku manusia ini banyak dimanfaatkan oleh para ahli manajemen pemasaran.
Pola hidup ini secara berulang menjadi kebiasaan (habit) yang akan mencetak gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup ini dapat diciptakan oleh perusahaan melalui aksi kebijakan pemasaran (marketing policy). Gaya hidup adalah salah satu bagian dari perilaku pelanggan (customer behavior).
“Munculnya bisnis bermula dari kebutuhan masyarakat (needs) yang ditangkap oleh para entrepreneur dengan menggunakan insting bisnis (intuition) menjadi peluang bisnis (opportunities).”
Bernard T. Widjaja