Lahir di Surabaya dari pasangan Ida Ayu Rai Srimben dengan Raden Soekemi Sosrodihardjo, membuat Sukarno memiliki darah Bali dan Jawa Timur. Sukarno bersekolah hingga kelas lima, kemudian melanjutkan ke ELS (Europeesche Lagere School).
Sewaktu menempuh pendidikan di HBS, Sukarno mondok di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di sana Sukarno mendapatkan banyak bimbingan seputar dunia politik, ia bahkan menyebut rumah tersebut sebagai “dapur revolusi Indonesia.”
Di rumah itu juga Sukarno dengan leluasa dapat bertemu dengan Ki Hadjar Dewantoro, Hendrik Sneevliet (pendiri ISDV, cikal bakal Partai Komunis Indonesia) dan Alimin (yang memperkenalkan Marxisme).
Debut pertama Sukarno adalah ikut serta dalam mendirikan Klub Studi Umum pada tahun 1926 di Bandung. Sebuah klub diskusi yang kemudian beralih menjadi gerakan politik radikal. Namanya kian melambung ketika mulai menulis rangkaian artikel “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” di Indonesia Moeda, penerbitan milik klub.
Gagasan tersebut sebenarnya bukan orisinil ide Sukarno. Meski begitu, ia berjasa besar menyerap apa yang diserukan oleh Mohammad Hatta, seorang tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Mereka sepakat akan pentingnya sebuah persatuan nasional, satu front bersama kaum Nasionalisme, Islamis, dan Marxis dalam bentuk perlawanan tanpa-kompromi kepada Belanda.
Pada tanggal 4 Juni 1927, Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Perserikatan tersebut merupakan gabungan dari berbagai gerakan kemerdekaan. Program utamanya adalah mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Slogannya sungguh menggetarkan semangat nasionalisme, “Merdeka Sekarang Juga”.