Semasa menjabat sebagai Panglima, Soedirman beberapa kali memiliki sikap yang berbeda dengan pemerintah.
Sikap yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya konflik antara militer dengan pemerintah. Puncaknya, Soedirman dituduh melakukan makar terhadap pemerintah.
Sebagai seorang tentara, Soedirman sudah berjanji dan berikrar untuk memerdekakan Indonesia seutuhnya. Ia lebih memilih berkonfontasi dengan pihak penjajah dibandingkan bekerja sama melalui jalur diplomasi seperti yang getol dilakukan pemerintah.
Sikap non kooperatifnya dengan pihak penjajah inilah yang membuatnya dekat dengan Persatuan Perjuangan, sebuah organisasi yang dipimpin oleh Tan Malaka. Kedekatannya dengan Tan Malaka dan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan ini membuatnya mulai dicurigai sekaligus dibenci.
Puncak pertikaian antara pemerintah dan tentara ini terjadi pada 3 Juli 1946.
Bawahan Soedirman, Soedarsono melakukan manuver yang mengatasnamakan Soedirman dengan meminta pemerintah untuk segera membubarkan kabinet Syahrir. Akibatnya, Soedirman pun hampir ditahan karena dituduh melakukan kudeta.
Keterlibatan Soedirman dalam kudeta tersebut tidak terbukti sama sekali. Meskipun ia memang tidak sepakat dengan sikap dan kebijakan pemerintah, ia tetap tunduk pada pemerintahan yang sah.
Pasca kudeta, ia pun tetap melanjutkan jabatannya sebagai Panglima. Bawahannya yang terlibat kudeta kemudian dihukum dan kabinet Syahrir pun akhirnya dibubarkan.
“Lebih baik kita diatom (di bom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen “
Jenderal Soedirman