Meskipun masih ada kesimpangsiuran informasi tentang orang tua kandung Soedirman, pihak keluarga mengatakan bahwa Soedirman merupakan keturunan dari Raden Tjokrosoenarjo, seorang asisten Wedana di Rembang.
Soedirman bukan keturunan Kartoworidjji, seorang buruh pabrik gula, seperti yang banyak beredar di buku sejarah dan jejak digital.
Dibesarkan di keluarga pejabat, Soedirman kecil mengenyam pendidikan formal mulai dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) sampai ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat sekolah menengah pertama).
Ketika berstatus sebagai pelajar, Soedirman pun aktif di organisasi pelajar sekolah dan juga organisasi kepemudaan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan.
Di Hizbul Wathan, Soedirman yang mahir dalam bermain bola dan digelari “Kaji” karena menyukai ilmu agama ini mencapai jabatan tertingginya sebagai menteri daerah Banyumas.
Di organisasi inilah ia belajar menjadi seseorang yang luwes, disiplin dan bertanggung jawab. Setelah menamatkan studinya di MULO, Soedirman pun mengikuti sekolah guru bantu di Solo namun ia tidak menyelesaikannya.
Ketika kembali ke Cilacap, ia diangkat menjadi guru di HIS Muhammadiyah Cilacap berkat bantuan gurunya, R. Muhammad Kholil. Hanya beberapa tahun menjadi guru, ia pun diangkat menjadi kepala sekolah sampai akhirnya sekolah itu ditutup oleh pemerintah Jepang.
Ketika sekolahnya ditutup, Soedirman tetap berjuang dengan membentuk koperasi dan Badan Pengurus Makanan Rakyat untuk membantu ekonomi masyarakat dan menyalurkan makanan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Hal itu menjadikan Soedirman mulai dikenal banyak orang dan Jepang pun tertarik untuk mengangkatnya menjadi dewan pertimbangan karesidenan.
Meskipun Soedirman menerima tawaran jabatan yang diberikan, ia tetap mementingkan kebutuhan rakyat dan diam-diam melakukan pembangkangan. Ketika hal ini diketahui Jepang, ia pun dibuang dan disuruh bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), pasukan tentara bentukan Jepang.
Di PETA inilah Soedirman mulai merintis karir militernya sebagai seorang tentara. Ia pun bergabung dengan PETA pada angkatan kedua sebagai calon daidancho (komandan batalion).
Setelah mengikuti pelatihan, ia pun kemudian ditetapkan sebagai daidancho di wilayah Kroya, Jawa Tengah.