Meskipun tidak memperoleh pendidikan militer secara formal, Soedirman ternyata tidak kalah cerdas dan cakap dibanding para seniornya.
Hal itu dapat dilihat dari mudahnya Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar mengalahkan beberapa tokoh senior yang memiliki pengalaman dan pendidikan formal di bidang militer seperti Oerip Soemohardjo dan Amir Syarifuddin.
Kecakapan dan kelihaian Soedirman dalam bidang militer juga dapat dilihat dari beberapa pencapaian luar biasa yang ia raih ketika menjabat sebagai Panglima Besar.
Ketika baru saja menjabat, ia berhasil mengusir tentara Inggris dari Ambarawa yang terkenal dengan perang Ambarawa atau palagan Ambarawa.
Meski sempat menelan kekalahan dalam agresi militer Belanda pertama karena ketidaksiapan pasukannya, Soedirman tidak menyerah. Ia pun kemudian mengubah strategi perangnya yang semula menerapkan perrtahanan frontal ke strategi gerilya yang fenomenal.
Sistem hit and run dalam taktik gerilya ini mampu membuat pasukan lawan kewalahan.
Ketika Soekarno-Hatta berhasil ditawan dan Kota Yogjakarta hampir ditaklukkan, Soedirman terus melanjutkan perjuangan dengan bergerilya di dalam hutan. Hal ini dilakukan karena pimpinan tertinggi militer tidak boleh tertangkap.
Bahkan dalam kondisi sakit parah yang dideritanya, ia tetap memimpin pasukan selama berbulan-bulan di dalam hutan.
Dalam kondisi sakit parah di dalam hutan, Soedirman tetap menjalankan berbagai strategi agar tidak tertangkap oleh pasukan Belanda.
Ketika keberadaannya tercium oleh mata-mata Belanda, ia menyuruh seorang anggotanya untuk menggantikannya di dalam tandu dan ia pun berhasil melarikan diri dari kejaran Belanda.
Perang melawan Belanda di Yogyakarta akhirnya berakhir ketika Soedirman menerapkan strategi wehrkreise yang pernah diterapkan pasukan Jerman. Soedirman dan Sultan Hamengkubuwono IX menunjuk Soeharto untuk melakukan serangan umum pada 1 Maret yang berhasil dengan gemilang.