Sikap politik yang berbeda membuat Soedirman beberapa kali terlibat konflik dengan sebagian elit politik.
Salah satunya dengan Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai menteri pertahanan Indonesia saat itu.
Amir memiliki pandangan bahwa tentara Indonesia harus murni dan terbebas dari pengaruh penjajah. Ia tidak menyukai tentara Indonesia saat itu yang kebanyakan berasal dari KNIL dan PETA, yang notabene adalah tentara buatan penjajah, termasuk Soedirman di dalamnya.
Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan, Amir pun membuat beberapa kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada Soedirman dan tentaranya. Kebijakan ini lebih menguntungkan Amir dan pengikutnya seperti pembentukan Biro Perjuangan yang anggrannya lebih besar daripada anggaran tentara serta masuknya orang-orang sipil kedalam unsur tentara.
Selain bersebarangan dengan menteri pertahanan, Soedirman juga berbeda pandangan dengan perdana menteri saat itu yaitu Syahrir.
Soedirman tidak setuju dengan taktik kooperatif yang dijalankan pemerintah. Namun, ketika Syahrir menjelaskan bahwa taktik kooperatif merupakan taktik yang paling rasional digunakan karena kekuatan tentara saat itu masih sangat kecil, Soedirman pun akhirnya setuju.
Selain dengan Amir dan Syahrir, Soedirman juga kerap berbeda pandangan dengan pendiri bangsa, yaitu Soekarno dan Hatta. Ia tidak sepakat dengan para pendiri bangsa yang lebih memilih untuk berdiplomasi dengan pihak penjajah dibandingkan berjuang layaknya seorang prajurit.
Sikap ini ditunjukkan Soedirman ketika Kota Jogkakarta yang merupakan pusat pemerintahan Indonesia saat itu diserang Belanda.
Ia tidak mengindahkan perintah Presiden Soekarno yang menyuruh tentara untuk melakukan gencatan senjata. Ia lebih memilih untuk melawan dan melanjutkan perang gerilya.