Hal yang paling mengesankan dari Jenderal Soedirman adalah semangat juangnya yang tidak pernah padam meskipun sedang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Ia tetap melanjutkan perjuangan meskipun hanya hidup dengan setengah paru-paru dan harus ditandu.
Soedirman yang memang seorang perokok berat ini mulai merasa kelelahan setelah pulang dari Madiun untuk memadamkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ia sangat tertekan karena menyaksikan banyaknya darah anak negeri tertumpah dalam peristiwa tersebut. Tragedi Madiun tidak hanya memberikan dampak buruk bagi psikologisnya, tetapi juga kesehatannya.
Ia pun terbaring di tempat tidur selama beberapa hari dan kesehatannya tidak kunjung membaik. Setelah diperiksa oleh tim dokter, Soedirman divonis menderita infeksi paru-paruyang mengharuskannya untuk segera dioperasi. Saat itu, ia hidup hanya dengan separuh paru-paru.
Hidup dengan separuh paru-paru tidak membuat Soedirman pensiun.
Ketika ia mendapat firasat buruk akan adanya agresi militer Belanda ke Jogjakarta, ia tiba-tiba ‘pulih’ dan langsung meminta Soekarno-Hatta untuk meninggalkan Jogjakarta.
Ketika permintaannya ini ditolak Sekarno-Hatta, ia tetap melanjutkan gerilya ke dalam hutan meskipun harus ditandu. Ketika bergerilya, ia juga sering keluar masuk Jogjakarta untuk berobat ke rumah sakit Panti Rapih dengan nama samaran agar tidak diketahui Belanda.
Pada tanggal 18 Januari 1950, Jenderal Soedirman akhirnya menyerah pada penyakit yang dideritanya dan menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan istri, keluarga serta para tentara dalam usia yang sangat muda, yaitu 35 tahun.
“Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit “
Jenderal Soedirman