Viktor pernah menyempatkan diri mendengarkan masalah keluarga sekaligus memberi saran psikoterapis kepada salah seorang Capo (tahanan yang ditunjuk menjadi pemimpin sekelompok tahanan lain). Capo itu terkesan. Capo itu jadi kerap membantu Viktor.
Viktor pernah terlibat perkelahian dengan mandor (pengawas kerja dari Nazi Jerman). Capo itu kemudian berbisik kepada sang mandor. Meskipun tidak menyelesaikan masalah, tetapi setelahnya Viktor diselundupkan oleh Capo itu ke kelompok kerja yang lain agar terhindar dari sang mandor. Di sini Frank merasa kebaikan hati di antara apatisme itu amat luar biasa.
Di tengah keterpurukan nasib, kesempatan memilih selalu ada alih-alih terpuruk pada satu keputusan: menyerah. Pengaruh kamp tidak semata-mata menentukan akan menjadi apakah seorang tahanan kemudian.
Kebebasan spiritual tetap tidak bisa dirampas. Bagi orang yang tidak menjadikan kesulitan di kamp sebagai ujian kekuatan batin, mereka sedang berjalan menuju kehancuran. Bagi orang seperti itu, kehidupan menjadi tidak bermakna.
F.W. Nietzsche, filsuf ternama, mengatakan bahwa barangsiapa yang tahu “mengapa” dalam hidup, bisa menanggung hampir semua “bagaimana”. Itulah sebabnya seseorang harus mencari alasan “mengapa” untuk dijadikan tujuan hidup guna memperkuat dirinya agar bisa menanggung berbagai cara untuk menjalani hidup.
Untuk menerapkan hal tersebut, yang paling dibutuhkan adalah perubahan dalam menyikapi hidup.
Tujuan hidup manusia akan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, makna hidup tidak bisa dirumuskan secara umum. Jawaban atas makna hidup tidak dapat dijawab secara universal.
“Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia – kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
Viktor E. Frankl