Soe Hok-gie lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1942, dan meninggal di Gunung Semeru tepat sehari sebelum tanggal lahirnya, yakni 16 Desember 1969. Ia adalah aktivis mahasiswa 1966 yang namanya paling berkibar saat itu.
Meskipun Gie sering berada dibalik layar, namun sejarah juangnya sampai kini tidak memudar. Tulisan-tulisannya mampu membius mahasiswa saat itu untuk mengambil sikap di tengah krisis politik yang terjadi pada masa Presiden Sukarno.
Seperti yang pernah ia tulis dalam catatan harian tanggal 10 Desember 1959;
”Siang tadi aku bertemu dengan seorang yang tengah memakan kulit mangga… Dua kilometer dari sini ‘Paduka’ (Presiden Sukarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istrinya yang cantik-cantik.”
Di situlah, salah satu tulisannya yang menggambarkan rasa keberpihakan terhadap kemanusiaan dan rakyat kecil. Gie tetap menjadi sosok idealis dan kritis terhadap penguasa saat itu.
Sosoknya yang berempati terhadap rakyat kecil dan keterampilan kemampuan beretorika yang sangat luar biasa telah membuat Gie menjadi seorang legenda. Hal itu terbukti saat kematiannya, banyak pelayat yang datang ke makam Gie.
Kini, surat-suratnya yang telah menguning dan belum pernah dipublikasikan itu hadir di Seri Buku Tempo yang berjudul Gie. Surat-surat itu pernah dilarang oleh Arief Budiman, kakak Gie, untuk diterbitkan karena khawatir membahayakan teman-temannya yang masih hidup.
Surat-surat tersebut berisi tentang hubungan Gie dengan teman-temannya sesama para pendaki, kritik terhadap teman-temannya yang berebut jabatan setelah Presiden Sukarno jatuh, dan juga soal pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia.
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Soe Hok-gie