Buku

Bung Tomo

Soerabaja di Tahun 45
By TimTempo
<
>
4 dari 7

Kedatangan Bung Tomo ke Jakarta pada Oktober 1945 membangkitkan semangat pemberontakan Bung Tomo. Kondisi yang ia lihat sangat tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ia melihat bendera Belanda berkibar di markas Jepang dan tentara sekutu lalu lalang di jalanan.

Dalam pertemuan dengan Presiden Sukarno, Mohammad Hatta, Menteri Muda Penerangan Ali Sastroamidjojo dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, ia menyampaikan rencananya untuk membuat siaran radio nasional untuk membangkitkan semangat revolusi rakyat.

Namun rencana tersebut ditentang Amir Sjarifuddin karena khawatir siaran tersebut justru akan membuat suasana dalam negeri tidak aman. Amir Sjarifuddin mengusulkan agar ia membuat siaran yang disiarkan ke luar negeri saja untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan nama Voice of the Indonesian Revolt.

Meski dilarang, Bung Tomo tetap menjalankan rencananya. Ia berhenti dari Pemuda Republik Indonesia dan membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Soemarsono sebagai ketua Pemuda Republik Indonesia menentang keputusan Bung Tomo. Namun ia mendapatkan dukungan dari petinggi militer Jawa Timur, Moestopo.

Dengan pemancar dari Moestopo, Bung Tomo memulai Radio Pemberontakan. Radio Pemberontakan pertama kali mengudara pada tanggal 13 Oktober 1945. Kemampuan orasi Bung Tomo berhasil mendorong masyarakat untuk bergabung dengan BPRI hingga anggotanya menembus 3.000 orang.

Setiap hari pada pukul setengah enam sore, Bung Tomo menyampaikan pidatonya yang mampu membangkitkan semangat rakyat. Pidatonya diawali dan diakhiri dengan lagu Tiger Shark karya Peter Hodgkinson. Kemudian pekikan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” menjadi tanda pidato Bung Tomo akan dimulai.

Di sisi lain, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengambil jalan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Minimnya pasokan senjata yang ada di Jakarta membuat pasukan Indonesia tidak berdaya.

Situasi yang berbeda terjadi di Surabaya. Pasokan senjata untuk pasukan dan rakyat Surabaya sangat memadai karena rakyat Surabaya berhasil merampas senjata tentara Jepang dari gudang senjata Jepang di Panti Asuhan Don Bosco September sebelumnya.

Dengan pasokan senjata yang memadai, Bung Tomo semakin yakin untuk terus mendorong semangat revolusi rakyat. Radio Pemberontakan tidak hanya disiarkan di Surabaya, namun juga di-relay oleh Radio Republik Indonesia Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta.

Di Radio Pemberontakan, tidak hanya Bung Tomo yang menyampaikan orasinya, tetapi juga K’tut Tantri. K’tut Tantri, yang bernama asli Muriel Stuart Walker merupakan warga Negara Amerika Serikat berdarah Skotlandia yang pernah dipenjara Jepang dengan tuduhan mata-mata. Ia ikut memberikan pernyataan penolakan dalam orasinya untuk menanggapi ultimatum tentara Sekutu untuk melucuti senjata rakyat Surabaya.

Sayangnya, melalui Radio Pemberontakan jugalah, Bung Tomo beberapa kali tidak sengaja membocorkan informasi para pejuang ke tentara sekutu. Hal ini membuat beberapa tuduhan muncul dan membuat situasi mulai memburuk. Namun Bung Tomo tidak gentar dan terus melanjutkan pidato dan orasinya untuk membangkitkan semangat rakyat.

Keberhasilan Bung Tomo dalam melakukan propaganda untuk menggerakkan semangat rakyat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, Bung Tomo sangat menyadari peran media, terutama radio dalam komunikasi massa. Ia berhasil menyadari pentingnya radio perjuangan dan memanfaatkannya dengan baik.

Kedua, tentu saja kemampuan Bung Tomo dalam berorasi. Seperti Bung Karno, ia juga merupakan seorang orator ulung. Terakhir, Bung Tomo berhasil mengajak santri untuk ikut turun ke medan perang dengan mengutip Resolusi Jihad yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945.

Bung Tomo memang dikenal dekat dengan Hasyim Asy’ari pendiri Nahdatul Ulama. Ia dan Jenderal Soedirman memang sering berkunjung ke pondok pesantren Tebuireng. Pekikan takbir yang mengawali dan mengakhiri pidatonya tidak hanya untuk membangkitkan semangat jihad para santri, namun juga menjadi semacam doa dan wirid bagi Bung Tomo.

“ Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita ini”

Bung Tomo dalam pidato 10 November 1945

<
>
4 dari 7
Baca di Pimtar App Beli Buku Ini
Buku
Duncan Clark
Kerajaan Bisnis yang Dibangun Jack Ma
Buku
Purwanto Setiadi, dkk.
Diplomat Jenaka Penopang Republik
Buku
Tim Tempo
Metamorfosis Jalan Raya Pos Daendels
Buku
Tim Tempo
Paradoks Revolusi Indonesia
Buku
Laura C. Martin
Asal Usul dan Perkembangan Minuman Favorit Dunia
Buku
TIM TEMPO
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak