Setelah perjuangan kemerdekaan, Bung Tomo masih konsisten dengan semangat perjuangannya untuk membela rakyat kecil. Ia pun terjun ke dunia politik dengan membuat partai baru, yaitu Partai Rakyat Indonesia (PRI).
Saat itu, Bung Tomo melihat banyak pemimpin yang lebih mengutamakan kesenangan pribadi, partai dan golongan. Oleh karena itu, ia memilih untuk membuat partai baru, alih-alih berkolaborasi dengan partai yang ada. Tujuan kelahiran PRI adalah melawan penguasa yang melenceng dari cita-cita kemerdekaan.
Sebagai partai baru, penerimaan masyarakat dinilai cukup baik. PRI juga tergolong cukup berani karena sebagai partai baru, PRI sudah beberapa kali berseberangan dengan PNI dan PKI. Walaupun demikian, perolehan suara PRI di Pemilu 1955 ternyata meleset jauh dari target.
Dugaan adanya kampanye hitam dan pencurian suara pun muncul. Sayangnya, sebagai partai baru, PRI belum memiliki kekuatan untuk melawan partai-partai besar. Tidak adanya divisi publikasi dan kaderisasi yang masih lemah menjadi salah satu penyebabnya.
Walaupun PRI tidak masuk dalam hitungan komposisi kabinet, Bung Tomo ditunjuk sebagai salah satu menteri dalam kabinet Burhanuddin atas usulan Mohammad Hatta. Ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang pada tahun 1955. Ia juga merangkap sebagai Menteri Sosial ad interim menggantikan Sudibjo yang mengundurkan diri.
Dalam masa jabatannya yang singkat, sulit mengetahui tindakan Bung Tomo selama menjadi menteri. Namun, Undang-undang Nomor 75 tahun 1957 tentang Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia yang mengatur penghargaan dan pendaftaran pejuang merupakan dikeluarkan dua tahun setelah Bung Tomo menjabat.
Kritik Bung Tomo kepada Presiden Soekarno diduga menjadi awal terjadinya konflik antara keduanya. Bung Tomo pernah menyampaikan kritik kepada Presiden Soekarno terkait kedekatannya dengan Hartini, seorang wanita yang bersuami. Sayangnya, kritik yang bersifat pribadi ini juga merembet ke urusan politik.
Selain itu, Bung Tomo juga mengkritik kedekatan Presiden dengan PKI, menyinggung persaingan kaum politis dengan militer, hingga kegagalan kabinet mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia mengambil peran sebagai oposisi. Sebagai akibat kritikan-kritikan tersebut, Presiden Soekarno mengasingkan Bung Tomo secara politik.
PRI dibubarkan dengan alasan minimnya perolehan kursi di Pemilu 1955. Rancangan undang-undang untuk menghapuskan KMB yang sudah rampung pun tidak kunjung ditanda tangani Presiden.
Meski sudah tidak berpolitik melalui partai, Bung Tomo tetap aktif menyampaikan ide dan kritikannya. Ia bahkan pernah menuliskan surat kepada Eisenhower untuk mengingatkan beliau agar Perang Dingin tidak merembet ke Indonesia.
Ia juga menulis surat kepada Mao Tse Tung dan Chiang Kai Shek yang berisi kekhawatirannya atas gesekan ekonomi dan sosial yang terjadi antara warga keturunan China dan warga lain di Indonesia. Kritikan-kritikan juga ia sampaikan kepada pemerintah, hingga ia harus di penjara dengan tuduhan subversi dan menghasut mahasiswa.