Perjalanan Sutomo sebagai wartawanlah yang membuat ia menyadari peran media sebagai alat propaganda untuk menggerakkan semangat pemberontakan rakyat. Ia pun mulai mengirim tulisan ke Soeara Oemoem, dan menjadi pengisi kolom tetap di harian Express.
Pada tahun 1942, saat Jepang datang ke Indonesia, Sutomo berhenti dari karir jurnalistiknya dan bergabung dengan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Propaganda Jepang yang ingin membangun fron kekuatan Asia Timur Raya berhasil menarik Sutomo. Namun, ia kembali ke jurnalistik dan bergabung dengan kantor berita Domei sebagai wartawan.
Di Domei, Sutomo tidak hanya mencari dan menulis berita. Namun ia juga mengikuti latihan baris berbaris dan gerak badan bersama wartawan lain. Pengawasan yang ketat dari pemerintah Jepang terhadap arus informasi membuat Sutomo merasa kebebasannya terkekang.
Kemenangan Jepang menjadi prioritas berita sedangkan kekalahan Jepang tidak disiarkan. Meski demikian, pekerjaan sebagai wartawan memberi Sutomo akses terhadap informasi penting sehingga ia dapat memberikan informasi tersebut ke kelompok pergerakan kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Domei tidak beroperasi dan Sutomo mendirikan Kantor Berita Indonesia bersama beberapa rekannya. Pada tanggal 6 Juli 1945, pertemuan Gerakan Rakyat Baru dilaksanakan di Jakarta dengan 15 orang sebagai panitia.
Panitia yang ditunjuk antara lain B.M. Diah, Chairul Saleh, Sukarni, dan Anwar Tjokroaminoto. Sutomo adalah satu-satunya pemuda yang berasal dari luar Jakarta. Ia mendapatkan rekomendasi dari Bung Hatta dan Wahid Hasyim.
Ternyata Gerakan Rakyat Baru ini sebenarnya adalah wadah yang dibentuk Jepang untuk meredam gerakan pemuda. Dalam penyusunan tujuan organisasi, Jepang, melalui Soekarno, tidak menyetujui penggunaan kata republik. Saat protes dari para pemuda muncul, Sutomo menjadi salah satu peserta yang naik ke mimbar dan mendebat Soekarno.
“Kita sudah memperoleh kemerdekaan, tapi kenapa rakyat di ibukota terpaksa hidup dalam ketakutan?”
Bung Tomo