Setidaknya ada 6 perwujudan willfulness dalam keseharian anak-anak dengan strong-willed. Dan, orangtua harus selalu siap menangkalnya dengan cara:
Pertama, kemauan yang impulsif dan fokus pada hasrat sesaat. Orangtua perlu membantu memperluas visi kemauan mereka dengan melatih mereka melihat ke depan, menimbang resiko dengan menunda pemenuhan keinginan.
Kedua, penolakan atas permintaan orangtua yang berujung power struggle. Untuk mengatasinya orangtua bisa mengalihkan sikap negatif mereka dengan sesuatu yang menyenangkan untuk mendapatkan respon positif, dan kemudian kembali ke permintaan awal (distract and return).
Ketiga, pertanyaan, “mengapa?” yang tak berkesudahan, bukan untuk meminta menjelasan melainkan untuk menantang otoritas orangtua.
Jangan sampai menjawab sekenanya, karena akan selalu ada efek pertanyaan balasan. Cara paling ampuh meniadakan kesempatan pertanyaan ‘mengapa?’ Tiada akhir itu adalah dengan sebuah penjelasan yang komprehensif dan closing yang tegas.
Keempat, berdebat untuk menang dan mendapatkan kebebasan. Orangtua perlu menunjukkan bahwa tidak ada kompetisi menang kalah dalam persoalan peraturan di rumah mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Semua adalah tentang pilihan dan konsekuensi. Mereka bebas memilih melakukan apapun. Namun, ada konsekuensi yang akan mereka peroleh atas pilihan tersebut.
Kelima, mempertanyakan “Kapan?” keinginan mereka terpenuhi. Anak strong-willedingin dipuaskan segera. Penundaan adalah siksaan bagi mereka.Ketidak-sabaran itu membuat mereka frustasi dan cepat marah.
Tugas orangtua adalah meningkatkan ketahanan mereka dari ketidak-sabaran tersebut. Ajarkan konsep upah atau pendapatan, setelah selesai melaksanakan semua tugas, mereka baru mendapat apa yang mereka mau. Ajari juga mereka menabung, para penabung menunjukkan kontrol impuls dan kemampuan menunda kepuasan.
Keenam, menanyakan kepemilikan, “punya siapa?” untuk mengambil kontrol.Orangtua perlu mengajarkan konsep sharing, kesempatan bergilir, kompromi, dan berkorban untuk orang lain. Berkaitan dengan hal kepemilikan, alih-alih memiliki ‘semua’ fokuskan si anak bahwa selalu ada kata ‘cukup’.