Bersama Hatta, Sukarno menjalani masa-masa sulit di awal kemerdekaan. Dengan bekerja sama, keduanya memang dapat menghasilkan banyak hal. Kemampuan Sukarno untuk berkomunikasi dengan massa serta sifat hangatnya sangat dibutuhkan Hatta.
Sementara itu, Sukarno membutuhkan ketrampilan Hatta dalam bidang ekonomi, sifat disiplin dan integritas. Meski telah bersama dalam waktu yang cukup lama, ternyata tak mampu membuat Hatta memahami sosok Sukarno.
Sehingga pada 31 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari dari jabatan sebagai wakil presiden. Banyak orang yang menyayangkan sikap Hatta ini.
Selama ini mereka selalu menjadi dwi tunggal, Sukarno dan Hatta. Apa mau dikata, kekecewaan terhadap Sukarno yang tak pernah menyelesaikan revolusi sosialnya telah membulatkan tekat Hatta untuk menjauh dari poros kekuasaan.
Kekalahan Belanda dari Jepang membuat Sukarno kembali memperjuangkan mimpinya. Yakin Jepang akan memberikan kemerdekaan, Sukarno meninggalkan sikap non kooperasi serta mendukung rezim tersebut.
Dengan keterampilan berpidato, Sukarno membujuk ribuan pemuda untuk bergabung dalam barisan romusha. Semula rekrutmen romusha adalah kebijakan nasional yang bertujuan untuk memobilisasi pengangguran yang jumlahnya lumayan banyak untuk merehabilitasi dan membangun Pulau Jawa.
Masa kerja selama tiga bulan di wilayah masing-masing dengan mendapatkan makanan yang cukup. Belakangan, pada tahun 1943, kerja paksa berubah menjadi perbudakan.
Sukarno mengaku merasa remuk hatinya karena secara tak langsung menyuruh banyak pemuda berlayar menuju kematian. Mereka sejatinya pahlawan kemerdekaan Indonesia yang menjadi martir bagi Sukarno.
Namun bagi Sukarno, keputusan sulit tersebut tak perlu ia sesali jika akibatnya dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa rakyat Indonesia.