Korean Air pada tahun 1980-an menjadi maskapai terburuk dengan jumlah kecelakaan tertinggi dibandingkan maskapai lainnya. Tingkat kehilangan Korean Air pada saat itu adalah 4.79 perjuta penerbangan.
Banyaknya kecelakaan pesawat yang terjadi memberikan dampak buruk. Beberapa perusahaan membatalkan kerjasama dan beberapa negara melarang penggunakan maskapai ini untuk penerbangan.
Di tahun-tahun berikutnya, sebuah keajaiban terjadi. Sejak tahun 1999 Korean Air tidak lagi mengalami kecelakaan penerbangan. Bahkan mereka memperoleh penghargaan Phoenix Award dari Air Transport World sebagai pengakuan atas transformasinya yang luar biasa. Transformasi tersebut dijalankan dengan terlebih dahulu mencari akar permasalahan dari kecelakaan yang sering terjadi.
Jatuhnya pesawat terbang disebabkan oleh serangkaian kesalahan kecil dan berbagai kegagalan mesin yang kadang terlihat sebagai hal yang sepele. Dari data kecelakaan, 52 persen disebabkan oleh pilot yang tidak beristirahat salama dua belas jam atau lebih. Tubuh para pilot lelah sehingga tidak bisa berpikir dengan tajam.
Sedangkan 44 persen lainnya disebabkan oleh hubungan emosional antara pilot dan kopilot. Di Korean Air, dua pilot yang bertugas memegang kendali seringkali belum pernah bekerja sama sebelumnya. Akibatnya, komunikasi yang terjalin tidak begitu baik. Inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.
Permasalahan komunikasi tersebut ternyata tidak lepas dari pengaruh budaya di sana. Seperti negara-negara Asia lainnya, dalam bahasa Korea ada “kalimat halus”. Kalimat ini umum digunakan kepada pihak yang lebih tua atau lebih dihormati. Budaya yang sama bisa kita temukan pula di Jawa.
Masalahnya, penggunaan “kalimat halus” tidak dapat diaplikasikan dalam percakapan antara pilot, kopilot serta kru kabin lainnya. Ketika berada di kokpit, butuh waktu cepat untuk mengambil tindakan, sementara “kalimat halus” membutuhkan waktu lebih lama untuk diucapkan dan dipahami lawan bicara.
Pengaruh budaya terhadap gaya komunikasi masyarakat Korea juga terlihat dari nilai Power Distance Index (Indeks Jarak Kekuasaan) mereka. Ini adalah salah satu indeks yang digunakan oleh Profesor Geert Hofstede untuk mengukur perbedaan nilai sebuah bangsa dengan bangsa lainnya.
Indeks Jarak Kekuasaan sendiri adalah tentang sikap seseorang dalam menghadapi atasan atau struktur yang lebih tinggi. Sebagian negara memiliki angka indeks yang lebih kecil, yang berarti hubungan atasan dan bawahan lebih sejajar.
Sedangkan di Korea angka indeks ini cukup tinggi. Ini berarti ada jarak emosional yang cukup lebar antara seorang atasan dan bawahan. Ini pula yang terjadi antara seorang pilot dan kopilot.
Karena itulah perbaikan pola komunikasi antar kru pesawat harus diiringi dengan transformasi budaya. Korean Air akhirnya mengundang David Greenberg untuk menangani permasalahan ini.
Dua hal yang dilakukan oleh Greenberg adalah memastikan semua awak pesawat dapat berbahasa Inggris dengan baik—sehingga tidak perlu menggunakan “bahasa halus” dalam berkomunikasi—serta mengikis kesenjangan antara atasan dan bawahan.