Saat berbicara tentang matematika, orang Asia—terutama Cina—dianggap memiliki kelebihan dibandingkan orang Barat. Sebagian kalangan berpendapat bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak Asia memiliki bakat di bidang matematika sejak mereka dilahirkan.
Namun, percayakah Anda jika dikatakan bahwa kemampuan tersebut ada hubungannya dengan budaya bercocok tanam di Cina?
Padi telah ditanam di Cina selama ribuan tahun lamanya. Bagi mereka, beras adalah barang berharga. Beras menjadi sarana dalam penentuan nilai kekayaan dan status sosial. Seorang antropolog bernama Goncalo Santos yang mempelajari kehidupan desa tradisional Cina mengungkapkan; bagi penduduk Cina nasi adalah kehidupan.
Menurut sejarah, pertanian di Barat lebih banyak menggunakan alat-alat mekanik dalam setiap prosesnya. Mereka menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin. Orientasi pertanian di Barat adalah “mekanik”. Hal tersebut dianggap akan memberikan lebih banyak kemudahan.
Sedangkan pertanian di Timur berorientasi pada “keahlian”. Seseorang dituntut untuk bekerja dan belajar lebih keras agar bisa mendapatkan hasil lebih besar.
Perbedaan orientasi tersebut menunjukkan kalau orang Asia lebih keras dalam bekerja. Hal ini tercermin dari peribahasa kaum petani di Cina; “Tidak ada seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam satu tahun yang tidak mampu membuat keluarganya menjadi kaya”.
Budaya bangun pagi dan kerja keras semacam ini bukanlah sesuatu yang lazim ditemui di negara-negara Eropa dengan iklim yang lebih dingin.
Sikap gigih yang terbentuk dari budaya bertani inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi di Cina. Dan kegigihan menjadi sebuah kunci penting untuk menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk soal-soal matematika.
“Kesuksesan mereka tidak hanya karena usahanya sendiri. Kesuksesan mereka adalah juga produk dari dunia yang mereka diami”
Malcolm Gladwell