Warkop mengawali debut mereka dengan mengguncang ‘udara’ Jakarta melalui Radio Prambors tahun 1973.
Lawakan mereka pada saat itu terasa kritis, satir, bahkan sarkasnya mereka mengkritik keadaan sekeliling. Di tengah masyarakat yang tidak berani ‘mengkritisi’ kemahakuasaan order baru di bawah tatapan dingin ‘The Smiling Generalnya’ Soeharto.
Mereka sudah berani mengkritik korupsi yang merajalela di negeri ini. Termasuk mengkritik penguasa. Tak banyak orang atau penampil yang seberani seperti itu di era Soeharto berkuasa.
Hingga dua tahun jelang wafatnya Kasino tahun 1995, Warkop sudah menelurkan 34 film. Film mereka banyak diwarnai dengan adegan slapstick. Serta penampilan perempuan-perempuan cantik berbusana seksi.
Film-film Warkop memang tak sekritis penampilan mereka di panggung atau rekaman kaset. Menurut Warkop sendiri berdasarkan survey kecil-kecilan yang mereka lakukan, mereka temukan data bahwa masyarakat menengah ke bawah menginginkan tontonan yang tidak membuat kening berkerut.
“Hidup sudah susah, jangan dibikin susah. Sebaliknya, dibuat ringan-ringan saja. Masak sudah bayar karcis masih disuruh mikir yang berat-berat!” Jadilah formula Warkop di layar lebar seperti yang kita saksikan. Unsur komersialisasi lebih menonjol.
Meskipun begitu tetap saja ada unsur idealisnya. Pertama, sejumlah pesan kritis tetap mereka selipkan dalam dialog walaupun tidak banyak.
Kedua, mereka tidak mau penonton Indonesia terus-terusan terjajah dengan film-film asing. Sejumlah bioskop hanya memutar film-film luar negeri. Terkecuali film Warkop, yang mampu membalikkan keadaan.
Menurut Indro Warkop, raihan jutaan penonton untuk pemutaran di seluruh Indonesia adalah keniscayaan yang berulang kali terjadi pada film-film Warkop. Suatu hal yang langka bagi dunia perfilman Indonesia saat itu.
Idealisme Warkop ini sedikit banyak ikut memberi sumbangsih dalam mengawali pertumbuhan film layar lebar Indonesia di eranya.