Tahun 1987 Penulis mengangkat isu tentang pelacuran di bawah umur untuk tema skripsinya di jurusan kriminologI FISIP-UI.
Tahun 70-80an di Monas di kenal istilah pedagang kue baskom. Mereka menjajakan kue yang ditaruh di baskom dan mendekati pembelinya yang duduk di kegelapan malam.
Yang membeli kuenya sambil meraba-raba tubuh penjualnya yang rata-rata masih berusia di bawah umur. Orangtua sang penjaja kue baskom menyaksikan dari jauh. Bagi mereka yang penting dagangan laku, sehingga anaknya pun di dandani melebihi usia mereka sendiri agar tampak menggoda.
Di beberapa daerah juga terjadi dengan beragam bentuk, diantaranya yang disebut pedagang kopi pangku. Sambil ngopi sambil memangku pedagangnya yang masih belia dan tampil seronok.
Di sekitar Pantai Utara ditemukan penari-penari dombret dibawah umur. Mereka menari di kegelapan malam, lalu dibawa ke tempat gelap dan yang terjadi sudah bisa ditebak. Warga sekitar menganggap ini hal yang biasa, bahkan didukung oleh aparat desa.
Musik pengiring penari dombret di anggap efektif untuk memanggil nelayan dilaut agar merapatkan perahunya ke desa itu untuk menjual ikan hasil tangkapannya.
Hal itu berarti ekonomi desa tetap berputar, tempat penjualan ikan tetap ramai. Jika tidak, nelayan akan ke desa lain yang “memelihara” kelompok penari dombret usia muda itu.
Ada fakta yang mencengangkan. Tidak sedikit dari penari dombret tersebut yang mengaku sudah kawin cerai 2-3 kali di usia belum 16 tahun.
Fenomena di kota kurang lebih sama. Anak-anak dibawah umur menjajakan dirinya. Bahkan rata-rata mereka masih berseragam sekolah
Ancaman perdagangan manusia itu tidak main-main. Komnas Perempuan merilis data bahwa kini setiap 24 jam terjadi 35 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Artinya : 3 kasus setiap 2 jam. Seperti fenomena gunung es, itu yang terdata saja. Yang belum terungkap tentu masih banyak.