Meski sering berbeda pandangan dengan Bung Karno, Natsir sama sekali tidak membenci temannya itu. Saat Bung Karno diadili Belanda sebelum dibuang ke Ende, Natsir ikut memberikan pembelaan.
Melalui Majalah Pembela Islam, Natsir menerbitkan tulisan-tulisan yang membela Sukarno. Salah satunya adalah karya H Agus Salim yang cukup tajam, “Hakim, Hukum dan Keadilan”.
Keduanya bertemu lagi ketika Sukarno menjadi presiden. Saat itu, Natsir ditunjuk menjadi Menteri Penerangan pada kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri Sultan Sjahrir.
Ketika namanya diusulkan oleh Sjahrir, Sukarno langsung menyetujuinya mengingat kepiawaian Natsir dalam merangkai kata.
Kecintaan Natsir dan Sukarno terhadap Negara amatlah tinggi sehingga perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak ditonjolkan. Bisa dikatakan, tidak ada pidato Presiden pada 17 Agustus yang tidak melalui persetujuan Natsir selaku Menteri Penerangan. Natsir akan membuat konsepnya lalu mendiskusikannya dengan Sukarno.
Jika konsep sudah disetujui, ia akan segera menggodoknya. Selanjutnya Sukarno akan menyesuikan pidato dengan gayanya tanpa menyimpang dari isi. Bahkan, pernyataan resmi presiden tidak akan disebarkan sebelum ditandatangani oleh Natsir.
Hubungan keduanya terlihat makin membaik ketika Natsir mengajukan Mosi untuk kembali ke negara kesatuan. Natsir juga yang mengusulkan agar Sukarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Namun keakraban itu mulai renggang ketika Sukarno membatalkan pembacaan pidato pada Maulid Nabi.
Puncak keretakan keduanya terjadi ketika Natsir mengembalikan mandatnya sebagai perdana menteri. Dari menteri yang paling dicintai, Natsir kini menjadi sosok yang paling dibenci Bung Karno.
Natsir, yang anti komunis ini, mulai kesal karena pemerintahan Sukarno semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal Ini juga yang membuatnya kemudian bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).