Natsir mulai memahami dampak dari penjajahan justru karena mendapat pendidikan di sekolah Belanda. Ia pun mulai tertarik pada dunia politik.
Hal tersebut dibuktikan dengan bergabungnya ia dalam Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung yang didirikan oleh H Agus Salim dan Wiwoho Purbohadijoyo.
Meski ia tak sependapat dengan pidato Bung Karno yang disampaikan pada rapat umum Partai Nasional tanggal 17 Oktober 1929 di gedung bioskop Oranje-Casino, Bandung, Natsir memilih menyampaikan pandangannya dengan cara yang santun.
Ia memilih berjuang dengan menjadi kontributor di majalah bulanan Pembela Islam yang sudah tersebar ke seluruh tanah air. Saat itu oplah majalah sudah cukup besar yaitu sekitar 2.000 eksemplar.
Dalam tulisannya, Natsir ingin memberikan batasan yang tegas perihal perjuangan kemerdekaan berdasarkan kebangsaan versus perjuangan kemerdekaan berdasarkan cita-cita Islam.
Tulisannya membuat gerah pendukung Sukarno yang tergabung dalam kelompok nasionalisme.
Menurut pengakuan Natsir, ada tiga sosok yang mempengaruhi pemikirannya. Sosok itu adalah A. Hassan, Haji Agus Salim dan Ahmad Sjoorkati, seorang ulama dan pendiri Al Irsyad.
Namun tak dapat dipungkiri, intensitas pertemuannya dengan A. Hassan yang membuat mereka lebih dekat dibandingkan dengan yang lain.