Lahir sebagai seorang anak seorang juri tulis, Natsir kecil terpaksa meredam rasa kecewa karena tak bisa masuk sekolah. Sekolah Belanda Holland Inlander School (HIS) Padang hanya menerima anak pegawai negeri dan saudagar kaya.
Walaupun demikian, ia tidak berputus asa dan tetap belajar. Ia belajar secara sembunyi-sembunyi di sekolah Ongko Loro di Maninjau. Sekolah tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Jika inspektur sekolah datang, Natsir dikirim pulang oleh guru kelas. Setelah inspektur pergi, baru ia kembali belajar.
Nasib baik membuatnya diterima di kelas V HIS. Terbayar sudah sakit hatinya ketika kecil. Sekolah yang dulu menolaknya, sekarang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Setelah lulus, ia pun berjuang untuk mendapatkan beasiswa ke MULO Padang dengan syarat harus mendapatkan nilai bagus selama masa percobaan 3-6 bulan.
Tentunya Natsir yang sudah terbiasa belajar keras pun lulus. Namun ada rasa kesal karena ia sering dilecehkan karena kemampuan bahasa Belandanya yang kurang fasih.
Semuanya dibayar tuntas ketika ia berhasil memenangkan lomba baca puisi dalam Bahasa Belanda. Sang guru pun memberikan tepuk tangan walau dengan wajah sinis.
Tidak hanya itu, ia juga menunjukkan kemampuannya dengan mempresentasikan makalah mengenai pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di pulau Jawa. ia menyampaikan analisa dalam bahasa Belanda yang tersusun rapi. Gurunya hanya bisa terdiam, Natsir pun merasa puas.