Kartini menjalani masa pingitan dengan rasa putus asa. Ia bahkan nekat membenturkan tubuh ke dinding batu di sekitar rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Untung Kartini mulai tersadar bahwa semua yang ia lakukan tidak ada gunanya.
Bagi Kartini, pingitan adalah masa-masa yang menyiksa karena menghalangi kesenangannya untuk membaca. Beruntung ia kemudian mendapat banyak bahan bacaan.
Buku-buku kiriman kakak kandungnya, RM Panji Sosrokartono yang melanjutkan sekolah hingga ke Universitas Leiden di Belanda, ditambah dengan kotak bacaan (leestrommel) langganan sang ayah, mengisi hari-hari Kartini selama dipingit.
Melalui bacaan-bacaan tersebut Kartini menemukan banyak hal, termasuk jawaban dari berbagai macam pertanyaannya selama ini. Lewat bacaan-bacaan itu, Kartini mendapatkan pendidikan yang tidak bisa ia peroleh secara langsung.
Bagi Kartini pendidikan sangat penting, termasuk bagi kaum wanita. Kartini berpendapat bahwa ekonomi masyarakat tergantung pada bagaimana perempuan mengatur keuangan di rumah. Tidak ada gunanya mendidik laki-laki jika rumah tangga tidak paham nilai uang.
Menjalani masa pingitan selama 4 tahun membuat Kartini sadar bahwa kemajuan bangsa tidak akan tercapai tanpa mengangkat wanita dari kekolotan saat itu. Bersama kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, mereka berusaha ‘memerangi’ feodalisme, kawin paksa dan perceraian sewenang-wenang.
Bakat menulisnya pun makin terasah. Tulisan pertamanya mengenai upacara perkawinan suku Koja di Jepara dipublikasikan dalam jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania (Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde).
Nama ayahnya yang dicantumkan sebagai penulis merupakan pilihan yang diambil mengingat alasan keamanan saat itu.
Tanggal 2 Mei 1909 menjadi hari ‘kemenangan’ bagi Kartini dan kedua saudarinya. Sang ayah akhirnya luluh. Ia membebaskan mereka bertiga dari pingitan dan mengajak mereka ke ibu kota Karesidenan Semarang untuk merayakan pengobatan Ratu Wilhelmina. Itulah kali pertama mereka keluar dari Jepara.
Perubahan sikap Sang Ayah tidak lepas dari bujukan Residen Semarang Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer.