Sebagai perempuan keturunan bangsawan, Kartini harus tundut pada adat, termasuk memasuki masa pingitan ketika berusia 12 tahun. Bedanya, ia dan juga kedua adiknya memiliki kesempatan untuk berteman baik dengan Maria Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara.
Keluarga tersebut merupakan keluarga Barat yang pertama dikenal Kartini dan adik-adiknya. Kartini bersaudara belajar budaya Belanda dari mereka, termasuk kebiasaan membalas kecupan pipi dari seorang perempuan Belanda.
Hubungan mereka cukup dekat. Bahkan, ketika keluarga Belanda tersebut pindah hubungan mereka tetap terjalin dengan manis.
Berkat Marie juga kartini bisa berlangganan majalah De Hollandsche Lelie. Bermula dari keinginan untuk mencari sahabat pena, Kartini memasang iklan di majalah tersebut. Seorang aktivis feminis bernama Estelle Zeehandelaar-Stella, yang berusia lima tahun lebih tua, menjawab iklan tersebut.
Ketika tahu bahwa sahabat penanya adalah wanita berdarah biru, Stella bertanya bagaimana ia harus memanggilnya. Ternyata Kartini hanya ingin dipanggil dengan namanya saja.
Baginya, nama Kartini merupakan nama keluarga dan nama kecil. Ia juga ingin menunjukkan bahwa semua orang adalah sama,tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan atau gelar kebangsawanan.
Keduanya berkorespondensi selama empat tahun, dari tahun 1899 hingga 1903.
Belakangan, Kartini juga berkorespondensi dengan Nyonya Rosa Abendanon-Madri, istri Direktur Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda.
“Jangan tanyakan apa yang saya mau,tanyakan apa yang saya boleh”
Kartini