Panarukan sudah dikenal sejak era Majapahit. Raja Hayam Wuruk menjadikan Panarukan sebagai tempat pertemuan dengan raja-raja dari Timur, seperti Madura, Blambangan, dan Bali. Pada masa VOC pun, Panarukan menjadi pelabuhan utama di timur Jawa.
VOC membangun benteng di sisi barat Sungai Sampean hingga laut Panarukan, yaitu sepanjang 540 meter, sebagai pertahanan. Benteng tersebut juga digunakan sebagai tempat penyimpanan komoditas dari Bondowoso dan Jember.
Pada masa Gubernur Jenderal Daendels, Panarukan semakin berkibar. Daendels menjadikannya ujung postweg karena Ia yakin, Panarukan mempunyai potensi besar sebagai salah satu pusat ekonomi dan pertahanan.
Pembangunan pelabuhan kala itu membuka pintu investasi swasta. Sehingga tumbuhlah perkebunan tebu, kopi dan tembakau sebagai komoditas ekspor. Kapal-kapal besar yang berlayar ke Eropa pun singgah di Panarukan untuk mengangkut hasil bumi.
Keadaan pelabuhan yang diapit dua Sungai besar, yaitu Sungai Sampean dan Klatakan, membuatnya rawan endapan. Pengelolaan pelabuhan yang amburadul pun (kala itu dikelola PT Djakarta Llyod) membuat pamor panarukan memudar. Hingga akhirnya pelabuhan tak pernah dkeruk lagi.
Menjelang 1980-an, pelabuhan Panarukan benar-benar meredup. Panarukan pun”mengecil” berubah menjadi nama kecamatan. Jejak pelabuhan Panarukan sebagai pelabuhan internasional tak mudah ditemukan lagi karena telah berubah menjadi pemukiman padat.
Begitu pula dengan jejak titik nol Jalan Daendels. Tidak banyak data mengenai pembangunan Jalan Raya Pos di wilayah Banten. Sehingga terjadi multitafsir tentang titik nol Anyer-Panarukan. Di tepi dermaga Anyer terdapat Mercusuar Anyer yang dianggap menjadi titik nol Jalan Daendels, namun hingga kini masih belum disepakati.
“Panarukan memiliki arti penting secara ekonomi dan politik.”
Edy Burhan Arifin