Pada 15 Agustus 1840, Pemerintah Hindia Belanda mengajukan proposal pembangunan rel kereta Surabaya ke Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan berakhir di Jakarta kepada Kerajaan Belanda. Dengan alasan mempermudah angkutan hasil panen dari kebun ke pabrik.
Meskipun disetujui, pembangunan tersebut memunculkan perdebatan panjang soal pembiayaan. Akhirnya perusahaan swasta NISM dan Pemerintah Kerajaan Belanda, Staatspoorwegen yang menyetujui melakukan pembangunannya.
Pada awal operasi, keberadaan kereta api Jawa tidak berdampak banyak pada arus transportasi Jalan Daendels.
Baru pada dua dekade terakhir abad ke-19, pemerintah membangun jalur kereta api barat-timur yang menghubungkan semua daerah strategis di Jawa. Cakupan transportasi rel lebih luas daripada Jalan Daendels.
Dalam pengangkutan barang, penggunaan kereta api mulai populer daripada perjalanan darat di Jalan Pos Daendels. Karena dinilai bisa memuat barang lebih banyak dan cepat.
Begitupula dengan tansportasi penumpang, yang lebih memilih menggunakan kereta api karena di Jalan Daendels tidak ada angkutan yang memadai.
Munculnya kereta api membuat Jalan Raya Pos Daendels “mati suri”. Untuk menghidupkanya, dibutuhkan alat transportasi yang tangguh, tahan banting dan digerakkan oleh mesin. Pada tahun 1893, masuklah kendaraan bermotor untuk pertama kalinya di Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, muncul berbagai tipe kendaraan dan tercatat ada 51.615 kendaraan bermotor di Hinda Belanda pada tahun 1939.Pada tahun 1960, masuk kendaraan angkutan barang seperti truk yang mulai berlalu-lalang di Jalan Raya Daendels.
Penggunaan truk dinilai lebih fleksibel sebgai transportasi barang di sepanjang Jalan Pantura. Kini, jalan Raya Pos Daendels jauh lebih diminati untuk angkutan barang maupun penumpang daripada angkutan kereta api.