Abu Hanifah Al-Nu’man adalah seorang ahli hukum Islam dan tokoh dari pendiri salah satu mazhab fikih. Ketika kecil, Abu Hanifah Al-Nu’man belajar di bawah bimbingan Al-Sya’bi, seorang ahli fikih terkemuka di Irak.
Karena keistimewaannya, gurunya menasehati agar lebih tekun dan belajar kepada ulama-ulama besar. Dia pun mematuhi nasehat gurunya.
Atas ilmu dan wawasannya yang luas, Abu Hanifah Al-Nu’man mendapat gelar Bahr Al-‘Ilm (Lautan Ilmu).
Pada suatu hari dia mendapat undangan Abu Ja’far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti ‘Abbasiyyah, untuk datang ke istananya di Baghdad.
Penguasa tersebut bermaksud mengangkat seorang qadhi atau hakim. Salah satu calon yang diajukan untuk menjadi hakim adalah Abu Hanifah Al-Nu’man. Penguasa tersebut memaksa Abu Hanifah Al-Nu’man untuk menerima jabatan itu.
Namun Abu Hanifah Al-Nu’man menyampaikan penolakannya saat itu juga, tidak seperti halnya calon yang lain yang harus pergi ke negeri lain atau pura-pura gila begitu menerima tawaran tersebut.
Mendengar penolakan yang disampaikan secara langsung dihadapannya, Al Manshur murka dan memerintahkan agar ulama itu dihukum cambuk. Dan benar saja, ulama yang telah berusia lanjut itu dihukum dengan 130 cambukan.
Saat itu ‘Abudurrahman bin ‘Ali bin, paman sang penguasa berteriak kepada keponakannya, “Amir Al-Mukminin! Engkau telah menghunus 100.000 pedang yang mengancam jiwamu. Tokoh itu adalah seorang ulama fikih. Dia dihukum dengan cambuk tanpa dosa. Tidakkah engkau takut akan siksaan yang datang dari langit?”
Mendengar sergahan keras tersebut, Abu Ja’far Al-‘Manshur pun mengutus seorang pejabat untuk melepaskan Abu Hanifah Al-Nu’man dari bui.
“Saya telah memutuskan, sepenuh hati, bahwa saya tidak kuasa menduduki jabatan itu. Jabatan itu akan menyebabkan saya menjadi seorang pendusta.”
Abu Hanifah Al-Nu’man