Chairil Anwar merupakan sosok perintis perkembangan sastra modern di tanah air.
Sumbangsih terbesarnya adalah kesuksesan menyakinkan khalayak luas bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memiliki tenaga besar.
Padahal pada tahun 1940-an bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tergolong sangat muda dan jarang digunakan. Chairil justru menghasilkan karya indah dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Di saat bahasa Indonesia baru mengalami perubahan ejaan dan berusaha menjadi bahasa utama, puisi karya Chairil Anwar saat itu membuktikan kekuatan bahasa Indonesia patut diperhitungkan. Bahkan peran sastra juga mendapat tempat karenanya.
Chairil tak sungkan memasukkan kosakata baru sehingga membuat karyanya terlihat berbeda. Ia juga biasa memasukan bahasa daerah serta kata-kata ‘gaul’ berdampingan dengan bahasa Indonesia sehingga membuat karyanya menjadi lebih pas.
Ada dua tema yang sering menggusik proses kretaif Chairil; perempuan dan revolusi.
Di antara ramainya pertempuran dan diplomasi di awal-awal proses kemerdekaan, Chairil mempersembahkan sajaknya yang patriotik. Sajak ‘Diponegoro’ dan ‘Krawang-Bekasi’ sebagai contoh, hingga saat ini masih dikenal orang.
Ia juga tak sekedar membuat puisi namun juga ikut terlibat dalam suasana perjuangan tersebut.
Meski demikian, beberapa orang meragukan keterlibatannya secara langsung. Menurut mereka, Chairil memang terlibat dalam perjuangan namun tidak dalam arti secara fisik, hanya karyanya saja.
Jiwa patriotisme Chairil sudah tampak sejak sebelum zaman kemerdekaan. Ia pernah berhenti dari jabatannya sebagai redaktur sebuah majalah ketika tahu majalah tersebut dibiayai oleh Belanda. Ketika itu ia baru bekerja sekitar satu-dua bulan.
Beberapa sosok perempuan juga sempat menjadi inspirasinya dalam berkarya. Ada yang disebutkan secara langsung namanya, ada juga yang hanya dijadikan sebagai inspirasi semata.
"Kehebatan Chairil adalah kemampuan dia menggunakan bahasa baru".
Sapardi