Tak banyak yang tahu bagaimana proses penemuan jati diri Chairil sehingga menjadi penyair.
Pernah belajar melukis, ternyata ia tak menemukan apa yang dicari di sana. Meski begitu Chairil tetap berteman dengan banyak pelukis.
Chairil bertemu dengan orang yang dianggap gurunya di Jakarta; Laurens Koster Bohang. Ia memang tak setenar nama lain dari angkatan Pujangga Baru. Tak banyak informasi yang bisa diperoleh mengenai dirinya.
Lelaki kelahiran tahun 1913 itu berasal dari Sangihe, Sulawesi Utara.
Pertama kali tiba di Batavia, ia tak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Belanda dan sesekali mempergunakan istilah dalam bahasa Menado.
Dengan posisinya sebagai redaktur buku berbahasa Melayu dan administrator naskah Poedjangga Baroe, ia mulai mempelajari bahasa Indonesia.
Posisinya juga bisa dikatakan sebagai daya tarik bagi sastrawan muda yang ingin berada dalam lingkaran elite intelektual, seperti halnya Chairil Anwar.
Perkenalan pertama mereka pertama adalah di tahun 1942 ketika Chairil mendampingi Sjahrir menghadiri pesta pernikahan adik Takdir di rumahnya yang juga merangkap sebagai kantor redaksi Poedjangga Baroe.
Perbedaan usia 12 tahun membuat Bohang bukan hanya sebagai sahabat, namun juga kakak. Bohang juga menjadi mentor yang memengaruhi Chairil dalam berkarya. Bisa dikatakan persahabatan mereka merupakan proses latihan bagi Chairil untuk mengungkapkan hasil renungan hidupnya dalam bentuk yang lebih pas.
Beberapa surat Bohang menyebutkan ia dan kawannya kerap mengembara ke Mesjid Luar Batang di Pasar Ikan.
Sementara itu, karya Chairil Anwar sendiri menunjukkan kedekatan mereka berdua, misalnya dalam sajak “Di Mesjid” (29 Mei 1943) dan “Kawanku dan Aku” (5 Juni 1943).
Ketika sang mentor meninggal pada 14 Februari 1945, Chairil menuliskan sajak khusus untuknya.