Perceraian kedua orangtuanya membuat sang ibu hijrah ke Jakarta pada tahun 1942.
Chairil memilih mengikuti sang ibu. Kehidupan mereka di Jakarta tidak bisa dibilang mudah. Mereka menumpang di rumah Sutan Sjahrir di jalan Ratuharhary. Ia tinggal sekamar dengan anak angkat Sjahrir dari Banda Neira, Des Alwi.
Sering kali Chairil dan Sjahrir berdiskusi tentang banyak hal. Kemampuan bahasa Belanda dan Inggris Chairil yang baik membuatnya tak mengalami kesukaran bergaul dengan tamu-tamu Sjahrir. Mereka berpengaruh banyak dalam kehidupan Chairil.
Selain menampung, Sjahrir juga menyuntikkan pemikiran-pemikiran ideologis ke dalam kepala Chairil muda.
Meski menolak untuk melibatkan diri dalam rapat-rapat Sjahrir, Chairil tetap berpartisipasi dalam perjuangan pergerakan kebangsaan. Ia menjadi kurir Sjahrir untuk menyampaikan berbagai pesan, termasuk informasi tentang Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Di Jakarta, Chairil sempat menjadi orang kantoran sebelum akhirnya mengabdikan diri sepenuhnya pada seni.
Banyak cara yang ditempuh Chairil untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya untuk membaca. Salah satunya dengan cara mencuri.
Yang menjadi sasaran bukan sembarang toko, tapi toko buku milik orang Belanda. Menurut Chairil, tak ada salahnya jika ia mencuri dari orang Belanda karena bangsa Belanda juga pernah merampok bangsanya.
Ia juga sering meminjam buku di perpustakaan USIS (United State Information Service) dan tak mengembalikannya. Keahliannya ini justru sering dimanfaatkan oleh teman-temannya yang membutuhkan buku tertentu namun tak bisa membelinya.
Sementara untuk makan, kadang ia menumpang makan di rumah para sahabat. Mulai dari H.B Jassin, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, hingga pelukis Affandi.
Bahkan menurut putri Affandi, Kartika, Chairil bisa datang dan pergi seenaknya. Ia bahkan memiliki kunci rumah Affandi.
"Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan".
Chairil Anwar