Chairil Anwar lahir dari keluarga yang cukup berada. Sang ayah memiliki jabatan sebagai Bupati saat kemerdekaan sementara sang ibu masih merupakan kerabat Sutan Sjahrir.
Keduanya sangat memanjakan anak-anaknya, terutama Ninik, panggilan kesayangan bagi Chairil. Hal tersebut membuatnya menjadi anak yang keras kepala dan tak mengenal batas, tapi juga cerdas dan memiliki pergaulan luas.
Sang ayah, Toeloes bin Manan, merupakan sosok yang memiliki pandangan luas. Anak-anaknya harus sekolah tanpa pandang bulu. Urusan seni juga mendapat perhatian. Sang kakak, Siti Chairani, lebih condong pada bidang musik, sementara Chairil menjadi penyair.
Kesukaan Chairil cilik akan membaca buku dan menonton film di bioskop membuatnya memiliki wawasan literasi yang mengungguli teman-temannya.
Segala macam buku dibacanya. Tema sastra, sejarah, dan ekonomi ludes dibacanya.
Bahkan kadang ia mengambil kursi atau meja untuk membaca koran yang ditempel menutupi dinding rumah bagian atas yang bolong atau rusak. Kegemarannya membaca kadang tanpa mempertimbangkan banyak hal. Tak terpikir oleh Chairil kecil bagaimana nasibnya jika ia sampai jatuh saat itu.
Demikian juga soal menonton film. Chairil selalu berusaha mendapat kursi yang terbaik setiap kali ada film yang menarik hatinya. Entah bagaimana caranya, orang tua mendapatkan uang untuk memenuhi hobinya itu.
Sebagaimana anak laki-laki seusianya, Chairil juga wajib pergi mengaji.
Setiap kali sang guru menyuruhnya mengumandangkan adzan ia sering menolak. Hanya azan subuh yang mau ia kumandangkan. Itu juga dengan mengeraskan suara ke arah rumah gadang yang ditinggali neneknya.
Ia ingin membangunkan sang nenek agar memasak nasi setelah sholat, sehingga ia bisa makan nasi panas pulang dari surau.
Kedekatannya dengan sang nenek membuat Chairil cukup terpukul ketika sang nenek berpulang. Ia sempat membuat sebuah puisi pendek berjudul ‘Nenek’. Menurut Toehilwi dalam acara “Alek Puisi Taeh” puisi tersebut ditulis di atas bungkus rokok Cap Tombak.