Hamka dikenal sebagai orang yang memegang teguh prinsipnya. Hal ini terlihat ketika Hamka terang-terangan menentang pemikiran Soekarno tentang Nasakom (Nasionalisme, Agama (Islam), dan komunisme) serta konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Soekarno.
Hamka juga tidak pernah takut mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Di mana pada saat itu, Soekarno memiliki kecenderungan berkiblat dengan blok timur. Segala sesuatu berbau komunis mulai masuk ke tubuh pemerintahan. Dan ini membuat Hamka berang.
Hamka juga sempat berbeda pandangan dengan Mendikbud Daoed Joesoef tahun 1978 yang mencabut ketentuan libur sekolah ketika bulan Ramadhan. Bahkan, ketika Hamka menduduki posisi sebagai Ketua MUI, menteri Agama saat itu Alamsjah Ratoe Perwiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan natal bersama.
Hamka menolak secara tegas permintaan tersebut. Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan dengan lantang, ”Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal.“
Karena hal ini, Hamka lebih memilih mengundurkan diri dari Ketua MUI dibandingkan harus mencabut fatwa tersebut. Bagi Hamka, menjadi Ketua MUI pertama memiliki banyak tantangan. Namun ia kuat dalam memegang prinsip dan tak takut mengeluarkan fatwa demi kebenaran.
"Bagi saya, agama Islam tak dapat dicampur dengan komunis. Tidak mungkin."
Buya Hamka