Malik yang berusia 21 tahun saat itu memutuskan menikah dengan Siti Raham yang berusia 15 tahun. Rumah tangganya kerap diuji dengan kekurangan materi. Saat itu, ia bekerja sebagai editor majalah keislaman sekaligus penulis lepas.
Malik mulai memperkenalkan nama penanya, yaitu 'HAMKA', yang merupakan kepanjangan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Mulai saat itu dan seterusnya hingga akhir hayatnya, khalayak lebih mengenalnya dengan nama ini.
Dari sini Hamka mulai produktif menulis. Buku-buku yang ditulisnya berupa nonfiksi maupun fiksi (novel dan cerpen). Serta tulisan lepas berupa artikel Islam yang kerap di terbitkan di majalah tersebut. Tulisan Hamka mencapai 115 judul yang masih dicetak sampai hari ini.
Hamka bisa membaca buku berjam-jam bahkan sampai larut malam. Hamka juga memiliki kebiasaan untuk mencatatkan ide secara spontan di kertas, apa pun yang dekat dengan tangannya-seperti bungkus rokok- lalu mengantongi catatan tersebut untuk ditulis ulang kembali.
Hamka juga tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah. Bahkan Hamka terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah di tahun 1953. Selain organisator ulung, Buya Hamka juga dikenal sebagai ahli pidato yang handal.