Buku

Brief! Easy Marketing for Executor

Panduan Praktis Marketing dan Wirausaha
By Bernard T. Widjaya
<
>
3 dari 7

Membangun sebuah brand bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi, menumbuhkan brand lokal di tengah persaingan global brand dan international market. Upaya untuk melahirkan dan membesarkan brand memerlukan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Perlu waktu yang cukup panjang untuk menciptakan brand ber-value tinggi.

Terdapat 10 fenomena brand, yang dapat menjadi pertimbangan untuk eksistensi dan daya saing brand, yaitu :

Pertama, Global brand versus local brand. Global brand memiliki daya tembus pasar yang tinggi. Namun hal ini tidak menjamin brand tersebut mampu memiliki performance competitiveness di semua area pasar. Local brand sering menjadi dominator pasar lokal.

Contohnya, Coca Cola yang menjadi The World most valuable brand mendapat tantangan yang sangat keras dari original local brand, seperti Teh Sosro.

Kedua, Bias against value. Investasi brand melalui Brand Equity dalam rangka menumbuhkembangkan value yang dilakukan oleh banyak perusahaan. Meskipun brand merupakan intangible asset, nilai pasarnya sangat luar biasa.

Hal ini berhubungan erat dengan upaya peningkatan earning dan cash flow perusahaan. Bagi beberapa perusahaan besar, brand menjadi salah satu ukuran penting untuk penentuan nilai saham (stock price), P/E Ratio, dan Market Valuation.

Ketiga, bias against innovation, contohnya Kirin Beer yang cukup terkenal di Jepang. Market share nya mencapai 60% dalam 4 dekade.

Dengan hadirnya kompetitor, Asahi Dry, yang diterima konsumen sebagai innovator, market share Kirin Beer turun di bawah 50%. Kirin Beer lebih suka mempertahankan status quo dan beranggapan dalam beer category, tidak ada alasan yang kuat untuk diubah.

Keempat, brand switching. Contoh, brand leader, seperti Rinso, yang tidak diragukan lagi brand equity-nya di Indonesia, tidak mampu menahan lahirnya brand baru seperti Daia pada waktu itu.

Kekuatan brand menjadi sangat lemah dan terjadi negative-leverage. Keputusan membeli konsumen bergeser dari pertimbangan brand menjadi pertimbangan fungsional.

Kelima, sales problems. Starbucks menjadi contoh klasik dalam pembahasan mengenai experiential marketing karena harus menghadapi masalah sales di beberapa negara.

Keenam, piracy. Dunia bisnis sedang menghadapi perang terhadap piracy products. Dan, ketujuh, new brands. Mie instan di Indonesia bisa menjadi contoh yang baik. Indofood yang menguasai pangsa pasar mie instan selalu berupaya meningkatkan varian/ diversifikasi jenis.

Kemudian, kedelapan, me too product, contohnya muncul berbagai macam brand (me too product) yang mengikuti dan mendompleng popularitas Oreo.

Kesembilan, fragmented market, seperti halnya Aqua sebagai market leader, harus menghadapi kenyataan medan persaingan tidaklah sebatas brand papan atas. Ancaman ini termasuk Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) serta substitusi Air Mineral isi ulang. Terakhir, commodity, secara signifikan sebagian besar market share produk dikuasai oleh non-brand (commodity).

<
>
3 dari 7
Baca di Pimtar App Beli Buku Ini
Buku
David Meerman Scott
Pendekatan Baru untuk Menjangkau Audiens secara Langsung
Buku
Handoko Hendroyono
Top Brand Masa Kini
Buku
Austin Kleon
10 Jalan untuk Membagikan Kreativitas
Buku
John P. Kotter
Strategi Kepemimpinan Bisnis dari Pakar Kenamaan Dunia
Buku
Hermawan Kartajaya & Bayu Asmara
Strategi Baru Layanan untuk Menciptakan Pengalaman yang Berkesan
Buku
Rhenald Kasali
Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber