Hamka dikenal sebagai orang yang teguh memegang prinsip. Sebagai seorang Ulama, Hamka tidak pernah bisa melakukan kompromi dengan siapa pun mengenai akidah. Sekali lagi, ini terkait akidah, sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang muslim di hadapan Allah. Sehingga ia tidak bisa dicampuradukkan dengan kebijakan apapun termasuk politik.
Hamka menjadi Ketua Umum MUI selama dua periode. Pada tahun 1980, Hamka dipilih kembali menjadi ketua MUI sampai 1985. Namun di tengah kepengurusan kedua ini, Hamka meletakkan jabatannya.
Hal itu disebabkan sebagai Ketua Umum MUI, Hamka menolak permintaan pemerintah untuk mencabut fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti acara perayaan Natal.
Hamka jatuh sakit sejak mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI. Saat itu awal bulan Ramadhan tahun 1981, dokter menganjurkan agar Hamka segera diopname. Kondisi Hamka semakin hari semakin memburuk. Tidak hanya dipasangkan selang oxygen di hidung, tetapi juga selang infus dan kateter.
Di atas meja dekat Hamka tidur ada piring yang berisi pasir. Hamka meminta disediakan piring berisi pasir untuk bertayamum. Setiap terdengar azan, Hamka akan meminta puterinya untuk membalurkan pasir-pasir tersebut di beberapa bagian tubuhnya. Selesai bertayamum, Hamka melaksanakan sholat dalam keadaan berbaring.
Penyakit diabetes melitus yang menyebabkan komplikasi sampai ke jantung menjadi sebab makin lemahnya kondisi Hamka. Hari-hari terakhirnya, Hamka dipasangi alat pacu jantung. Tanpa alat ini Hamka tidak bisa bertahan hidup.
Dalam keadaan koma tanpa sadar berhari-hari, pada akhirnya anak-anaknya sepakat untuk melepaskan alat pacu jantung tersebut. Begitu alat pacu jantung tersebut dilepas oleh Dokter, detak jantung Hamka yang masih tampak naik turun di layar monitor, kemudian terlihat tinggal garis lurus saja. Menandakan jantungnnya tidak lagi berdetak.
Hari itu, Jumat tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.37 WIB Hamka dinyatakan wafat. Innalillahi wa inna ilaihi raa’jiun.