Para pengkritik senantiasa beranggapan bahwa para penyandang buta dan tuli tidak punya hak untuk berbicara mengenai keindahan, langit, gunung, dan burung-burung yang bertebaran di langit dengan warna-warnanya yang indah.
Mungkin para pengkritik lupa sensasi keindahan yang dirasakan tidak hanya dari indera peraba yang berasal dari pengalaman orang yang buta-tuli, tetapi hasil partisipasi juga dari orang lain.
Helen Keller mengutip peryataan Descartes untuk menjelaskan kepada mereka mengenai hal itu, yakni “Aku berpikir, maka aku ada.”
Pernyataan Descartes tersebut, membuktikan bahwa ia hadir secara metafisik dan ia membuktikan kepada siapa pun yang meragukan jika ia bisa melakukan hal itu, bahkan lebih.
Ia juga menekankan kepada para pengkritik, ada berjuta-juta sensasi yang bisa dinikmati, dan tidak akan terbayang oleh mereka. Ia menganggap keterbatasan, justru membuat dirinya membuka pintu ceria akan sensasi yang tidak terhingga.
Karena itulah, biasanya seorang tunanetra memiliki kelebihan pendengaran lebih tajam dan jelas dibandingkan dengan orang lain. Mereka memiliki kemampuan baru yang bisa menembus kerumitan isi dunia. Sesuai dengan hukum yang tidak terbantahkan, indera-indera manusia saling membantu dan memperkuat.
Helen keller menegaskan, ia memahami bahwa orang bisa “mendengar pandangan”, “melihat nada”, atau pun “merasakan musik”. Pernyataan-pernyataan baik yang menurutnya adalah masalah-masalah persepsi, ternyata lebih berhubungan dengan rasa.
Bisa jadi Anda yang memiliki lima indera lengkap tidak bisa merasa seperti at home dan merasakan diri dengan lebih baik, karena sejatinya bahasa indera itu penuh dengan kontradiksi.