Bagi Hellen keller, tangan adalah penglihatan dan pendengaran. Karena sejak ia kehilangan kemampuan melihat dan mendengar di usia 19 bulan, ia mulai belajar dan tumbuh dengan segala gerak yang berporos pada tangan untuk melihat dan mendengar.
Baginya, tangan merupakan alat peraba yang bisa menjangkau semuanya, melenting dari keterasingan dan kegelapan. Seperti halnya nabi Ayub, ia merasa tanganlah yang menciptanya, merancangnya, dan membentuk jiwanya.
Secara umum, ia sebenarnya menempuh jalan yang sama dengan orang lainnya, ia membaca buku yang sama, ia berbicara dalam bahasa yang sama, meskipun sangatlah berbeda.
Ia menyatakan jika apa yang disentuh bukanlah hal yang nyata, maka itu sama saja dengan pemandangan yang membahagiakan bagi orang lain, atau suatu tamparan yang membuat orang lain meneteskan air mata, juga tidak nyata.
Ia menganalogikan seperti “makna dari garis lurus.” Bagi kebanyakan orang, garis lurus adalah lurus, sebuah jawaban dari jalan pikiran yang pastinya akan terasa membosankan.
Namun bagi Hellen Keller, garis lurus yang didapat dari sentuhan tidak bisa dirasakan seperti garis lurus. Garis tersebut bisa saja berlekuk atau kombinasi antara garis lurus dan berlekuk. Baginya, garis lurus bisa suatu gasris yang timbul-tenggelam, terkadang dalam, terkadang dangkal, terkadang putus-putus, tersambung, atau memuai.
Garis yang dirasakan dengan sentuhan tangannya bisa beragam artinya, tidak terbatas, dan luar biasa. Melalui imajinasi yang berasal dari sentuhan tangannya, ia mampu membuat kegelapan menjadi terang di hadapannya, dan meluruskan jalan yang berkelok.
“Aku berusaha menjadikan penglihatan di mata orang lain sebagai mentariku, musik yang didengar telinga orang lain sebagai simfoniku, dan senyum di bibir orang lain sebagai kebahagiaanku.”
Helen Keller