Perbedaan karakter dan sudut pandang masing-masing generasi rentan menimbulkan kesalahpahaman di tempat kerja. Namun, potensi permasalahan itu sesungguhnya dapat diatasi.
Zoomer sering merasa kesal terhadap gen Y yang dianggap tidak memiliki etos kerja. Sebaliknya, gen Y berpikir bahwa bekerja keras itu tidak perlu asalkan pekerjaan yang ditugaskan selesai.
Di samping itu, gen X sering merasa skeptis terhadap Zoomer karena Zoomer ,si pekerja keras, masih bekerja di penghujung usia produktif. Mereka juga kesal dengan rasa percaya diri gen Y yang berlebihan.
Karena gemar bekerja keras, Zoomer bersedia menerima beban kerja lebih banyak dari kemampuan mereka. Zoomer pun betah berlama- lama di kantor. Sementara itu, Gen X ingin membawa tugas pulang ke rumah agar segera dapat berkumpul bersama keluarga.
Sementara itu, Gen Y cenderung bebas dan bekerja di tempat yang lebih leluasa. Hal ini membuat gen X dan Y juga terlihat kurang bekerja keras di mata para Zoomer.
Untuk menyikapi perbedaan ini, perusahaan harus memberikan pelatihan kepada karyawan dalam memahami karakter setiap generasi. Perusahaan juga dapat memberikan pelatihan untuk membantu mereka dalam memaksimalkan potensi mereka sesuai dengan karakter dan kompetensinya masing-masing.
Selain itu, cara berkomunikasi antargenerasi juga menjadi tantangan tersendiri dalam perusahaan. Gen Y cenderung menyukai komunikasi langsung tetapi santai. Sementara itu, Zoomer menyukai komunikasi melalui bahasa formal dan menghormati hirarki perusahaan sehingga kerap kesal dengan gen Y. Sedangkan Gen X bersikap lebih adaptif.
Cara terbaik untuk menjaga etika berkomunikasi dalam perusahaan adalah setiap generasi perlu memposisikan diri sama seperti generasi yang diajak bicara.
Gen X dan Y biasanya membawa personal digital assistant (PDA) seperti komputer jinjing ke dalam ruang rapat dan sesekali menengok PDA tersebut. Zoomer tidak dapat menerima hal ini meskipun alat tersebut sebenarnya digunakan juga untuk bekerja. Untuk menangani masalah ini, di awal rapat perlu dijabarkan ketentuan dalam rapat, misalnya mematikan PDA.
Dalam hal melayani pelanggan, gen Y lagi-lagi sering dianggap tidak sopan. Bagi gen Y, pelanggan yang baik hanyalah mereka yang bersikap baik. Bagi gen Y, penampilan di hadapan pelanggan tidak begitu penting.
Hal ini berbanding terbalik dengan Zoomer dan gen X yang menyadari bahwa menyenangkan pelanggan sangatlah penting untuk kemajuan bisnis. Untuk mengatasi hal ini, perusahaan perlu memberikan penjelasan dalam melayani pelanggan sejelas-jelasnya kepada gen Y.
Konsep berbagi pengetahuan pun dipandang berbeda bagi masing-masing generasi. Zoomer mempertimbangkan kompetisi sehingga enggan berbagi banyak hal. Sebaliknya, gen Y yang tumbuh dalam lingkungan multikultural menjadi orang yang senang berbagi.
Untuk mengatasinya, perusahaan perlu meyakinkan mereka bahwa berbagi, baik pengetahuan maupun sumber daya, pegawai, atau klien sesungguhnya dapat memberi keuntungan bagi semua pihak.
“Setiap generasi memberikan warisan yang unik kepada generasi yang datang sesudahnya dan yang secara umum berusaha untuk memperbaiki kekurangan generasi sebelumnya.”
William Strauss dan Neil Howe