Kepada pemerintah Hindia Belanda, Tjokroaminoto tidak menggunakan pendekatan yang radikal, ia bersikap kooperatif untuk terus membesarkan Sarekat Islam.
Misalnya saja saat tidak diizinkan untuk membangun partai dalam skala nasional, ia lalu membangun cabang-cabang Sarekat Islam di berbagai daerah dan membuat Central Sarekat Islam untuk mengkoordinasikannya.
Untuk membangun cabang-cabang Sarekat Islam, Tjokroaminoto justru mendapatkan bantuan dari penasihat Gubernur Jenderal Belanda untuk urusan pribumi, Douwes Adolf Rinkes.
Kepada rakyat, Tjokroaminoto menggunakan pendekatan kesetaraan. Hierarki Jawa-Belanda ditiadakan, semua kaum pribumi duduk sejajar. Kesetaraan yang diperjuangkan oleh Tjokroaminoto bukan hanya setara dengan penjajah, namun juga kesetaraan antar golongan di antara pribumi sendiri.
Ketidaksetujuan terhadap perilaku laku dodok (berjalan di depan bangsawan), seruan untuk berani mengenakan “pakaian Eropa” menjadi aksi nyata dari pemikirannya terhadap kesetaraan.
Tjokroaminoto juga menyusun delapan program yang fokus untuk memperjuangkan hak rakyat, yang isinya antara lain terkait penghapusan kerja paksa, penghapusan izin bepergian, pembentukan dewan daerah, serta perluasan Dewan Rakyat.
Dengan pendekatan yang dijalankan, Sarekat Islam berkembang dengan cepat pada separuh awal 1913. Wilayah organisasi dibagi menjadi tiga, yaitu Jawa Barat, termasuk Sumatera; Jawa Tengah, termasuk Kalimantan; dan Jawa Timur, termasuk kawasan Indonesia Timur.
Peran Tjokroaminoto yang cukup besar dalam perkembangan Sarekat Islam membuatnya lebih dikenal dibandingkan Samanhoedi sebagai sang pendiri.
Akhirnya pada April 1914, posisi ketua yang selama ini dipegang Samanhoedi berpindah ke
Tjokroaminoto. Tjokroaminoto dipilih sebagai ketua Central Sarekat Islam, sedangkan Samanhoedi menjadi ketua kehormatan (sebuah posisi yang tidak memiliki kewenangan apapun).