Masaru melakukan penelitian selama bertahun-tahun dengan memotret kristal air dari berbagai lokasi yang diperlakukan secara berbeda. Hasil dari penelitian ini berupa foto-foto kristal air yang sudah dibekukan. Hasil penelitian ini membuat Masaru semakin yakin bahwa air dapat menangkap informasi sama seperti makhluk hidup.
Seluruh komponen di alam semesta dalam keadaan bergetar. Setiap komponen itu menghasilkan frekuensi getaran yang berbeda-beda dan unik. Manusia sendiri pun bergetar dan masing-masing kita bergetar pada frekuensi tertentu.
Mata manusia tidak mampu melihat getaran ini, tetapi manusia dianugerahi keterampilan sensorik yang dapat digunakan untuk merasakan getaran orang lain. Orang yang sedang bersedih akan memancarkan frekuensi kesedihan yang mampu dirasakan orang lain.
Contoh lain, ketika Anda tengah berbincang dengan santai di ruangan, kemudian seseorang masuk dengan wajah lelah. Anda tentu dapat merasakan perubahan suasana yang tadinya hangat tiba-tiba menjadi dingin.
Segala sesuatu yang bergetar menimbulkan suara, terlepas apakah suara tersebut dapat didengar atau tidak. Suara yang memiliki frekuensi sama atau berbeda pada frekuensi dengan kelipatan dua-empat-enam dan seterusnya akan beresonansi.
Bisa jadi hal ini sama seperti manusia. Manusia beresonansi pada berbagai tingkat dan mereka yang memancarkan frekuensi sejenis akan saling tertarik. Ketika manusia hidup di zaman purba, manusia lebih peka terhadap suara yang dihasilkan oleh alam untuk mengantisipasi bahaya yang mengancam.
Alam itu bervariasi: gunung, laut, hutan, gurun, dsb. Setiap lingkungan menciptakan getaran yang berbeda. Meskipun lokasi dan frekuensi yang dipancarkan berbeda, tetapi pada dasarnya prinsip dasar alam adalah sama.
Air sendiri merupakan zat yang peka terhadap frekuensi yang dipancarkan oleh alam semesta. Air menangkap informasi dari alam lalu menunjukkannya kepada manusia. Disitulah manusia perlu mempelajarinya.