Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gunung raksasa yang berasal dari Indonesia ini membawa tragedi memilukan dalam sejarah umat manusia di dunia.
Tambora yang meledakkan diri dengan kekuatan apokaliptik pada April 1815 memberikan gelombang bencana cuaca selama tiga tahun sesudahnya. Tragedi ini menghadirkan cerita rakyat yang terus menjadi topik bahasan dalam sejarah-sejarah populer yang berjudul “Tahun tanpa Musim Panas”.
Namun ada kisah tersendiri yang terjadi pada penduduk sekitar Gunung Tambora. Di mana saat malam hari 5 April 1815, terdengar suara halilintar mengelegar dari puncak Tambora. Suara api melesat ke langit menerangi kegelapan bumi di kaki penduduk sekitar Gunung Tambora.
Masyarakat ketakutan, mereka berlarian menyelamatkan diri, karena hampir selama tiga jam semburan-semburan api keluar dari Gunung Tambora. Mereka meyakini bahwa dunia akan segera berakhir.
Desa Koteh, beserta desa lainnya di semenanjung Sanggar, musnah seluruhnya. Namun entah bagaimana caranya, sang raja Sanggar dan beberapa puluh warganya berhasil lolos dari bencana dahsyat tersebut.
Meskipun dalam tragedi tersebut, sang raja harus merelakan kehilangan anak perempuannya yang lunglai oleh ketakutan dan diare yang disebabkan oleh air yang tercemar abu vulkanis.
Suatu hari pasca erupsi, sang raja Sanggar mendengar akan ada orang Inggris datang ke pulau dengan membawa beras. Dengan rasa duka yang dalam, sore hari sang raja bergegas ke Dompu untuk menemui perwira Inggris tersebut.
Perwira tersebut bernama Letnan Phillips, dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Kepada Letnan Phillips ia menceritakan kisahnya di semenanjung Sanggar pada April 1815.
Setelah menceritakan kisahnya, kemudian sang raja diberikan hadiah beberapa ton beras. Kemudian sang raja menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam, dan segera bergegas pulang untuk memberikan beras tersebut kepada rakyatnya.
Cerita dari raja Sanggar tersebut merupakan satu-satunya laporan saksi mata yang ada mengenai Gunung Tambora.
“Gunung itu bergetar di sekeliling kami; Sementara hujan air bercampur abu turun mendera-dera dari langit. Anak-anak menjerit dan menangis, juga ibu-ibu mereka, sebab percaya dunia telah berubah menjadi abu membara.”
Sajak Epik dari Bima