Ledingham & Bruning (1999) menginterpretasikan public relations sebagai upaya membangun hubungan strategis dan proses manajemen. Heath (2001) mengidentifikasi tiga paradigma dominan pada public relations, yakni manajemen adaptif, keterlibatan percakapan/ pidato, normatif/ kritis/ etis.
Konseptualisasi tersebut dapat diterapkan dalam memahami peran PR dalam media sosial. Seperti diketahui bahwa terminologi media sosial terus berubah sebagaimana teknologi kian berkembang dan praktik-praktik berubah.
Gagasan tentang media sosial diasosiasikan dengan fenomena media digital baru seperti blog, situs social networking, location-based services, microblogs, situs berbagi foto dan video, dimana para pengguna dapat berkomunikasi satu sama lain, menciptakan danmembagikan konten secara online melalui perangkat mobile maupun komputer.
Makna sosial dari teknologi digital dibentuk oleh bagaimana hal tersebut tertanam ke dalam kehidupan sosial. Media sosial secara fundamental merupakan ruang untuk menjalin koneksi dan bercakap-cakap dengan orang lainnya.
Jadi sangat penting untuk dipahami bahwa media sosial bukan mengacu pada tipe teknologi, melainkan refleksi dari penggunaan teknologi.
Engagement yang tepat dalam media sosial tergantung pada pemahaman akan aturan, keterjangkauan dan budaya dari social media networks. Pemahaman pada transofrmasi kultural yang dibentuk oleh media sosial merupakan hal yang penting dan esensial bagi public relations.
Pemahaman media sosial sebagai arena bercakap-cakap dengan keterjangkauan tertentu dan budaya ekspresif, memiliki implikasi signifikan pada public relations.
Intervensi public relations dalam media sosial memiliki sejumlah resiko, karena dapat dipersepsikan berbeda dan bisa menjadi sasaran serangan publik. Itulah sebabnya dibutuhkan kemampuan mengelola dan mengontrol komunikasi pada media sosial.
Pertimbangan fundamental bagi organisasi untuk tetap aman secara etika dan hukum, yakni perlu memperhatikan 3 poin penting;