Salah satu “musim bermusuhan” di negeri ini adalah masa-masa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres).
Dua orang yang bersahabat dan kerap makan bersama bisa berubah jadi saling maki dan saling nista di media sosial. Entah itu di Twiiter, Facebook, ataupun di grup Whatsapp (WAG).
Saling singgung, saling hina, saling menistakan, saling merendahkan orang lain, bahkan sampai taraf saling mengkafir-kafirkan, jadi makanan sehari-hari di tengah panasnya politik.
Saling beradu argumen yang mengutip sumbernya dari media. Media dianggap melakukan politik redaksional. Media dipuja-puji jika sejalan dengan pemikirannya. jika sebaliknya, media langsung dimaki-maki.
Dalam dunia jurnalistik, bisa jadi sebuah berita yang disajikan sangat dipengaruhi oleh pandangan wartawan dan tim redaksi. Baik itu karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnis, atau agamanya.
Kebenaran yang dibentuk manusia tak ada yang bersifat mutlak. Selama bentukan manusia, kebenaran tersebut bisa direvisi.
Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tidak terbukti salah. Hakim bisa keliru mengambil putusan. Pelajaran terkait ilmu pengetahuan dan sosial bisa salah bahkan bisa direvisi.
Fungsi jurnalistik salah satunya membentuk kebenaran fungsional. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Selain itu, kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Contohnya dalam kasus tabrakan lalu lintas.
Hari pertama, wartawan memberitakan kecelakaan itu dimana, jam berapa, jenis kendaraanya, korbannya bagaimana dan sebagainya.
Hari kedua, berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain seperti polisi atau keluarga korban. Bisa jadi ada koreksi. Dan pada hari ketiga, bisa jadi koreksi itulah yang diberitakan. Demikian seterusnya.
Jadi kebenaran fungsional dalam media dibentuk dari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Memakan waktu dan prosesnya lama.
“Jangan memberhalakan kebenaran. Karena hanya DIA yang benar-benar BENAR.”
Maman Suherman