Media sosial yang terbuka menjadi platform favorit untuk menyampaikan pendapat dan menyebarkan berita. Sayangnya penyampaian pendapat dan penyebaran berita tersebut seringkali tidak disertai dengan klarifikasi dan konfirmasi terlebih dahulu.
Oleh karena itu literasi menjadi penting dan mendesak. Literasi bukan sekedar membaca dan menulis melainkan dengan cara berfikir, cara mengelola informasi, cara bersikap dan menyelesaikan masalah.
Manusia dengan literasi yang mumpuni akan mendapatkan softskill yaitu kemampuan berpikir kritis. Sekolah perlu memiliki implementasi kurikulum sebagai wadah siswa berpikir kritis, sedangkan guru perlu berperan sebagai teladannya.
Softskill selanjutnya yang penting dimiliki generasi milenial adalah mereka harus beradu lari dengan kecepatan teknologi informasi. Mereka juga harus berhadapan dengan problem-problem keluarga seperti kehilangan harapan, kekurangan sentuhan kasih sayang.
Untuk menaklukan tantangan tersebut generasi Z dan A perlu memiliki softskill yang bernama Stempathy alias Strong in Modern Technology Science dan Empathy.
Istilah Stempathy pertama kali dikemukakan oleh Thomas L. Friedman melalui buku Thanks You for Being Late. Dibuku ini menyoroti perkembangan teknologi yang semakin cepat, apa yang kita pakai hari ini bisa menjadi usang begitu kita bangun esok pagi.
Gaya dan cara kita berkomunikasi bisa berganti tiap pekan mengikuti jargon kekinian. Ini berarti bahwa perubahan tidak berbicara hanya pada teknologi. Jika keseimbangan dan kebahagiaan menjadi korban perubahan maka yang terjadi hanyalah kekonyolan.
Softskill yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kerjasama tim dan kolaborasi. Jika kita ingin berlari cepat berlarilah sendiri, jika kita ingin berlari jauh berlarilah bersama-sama.
Dengan demikian kerjasama tim sinonim dari kesuksesan. Kesuksesan yang hanya berdampak pada diri sendiri bukanlah kesuksesan, itu adalah kesuksesan egosentris.
Kesuksesan sejati adalah kesuksesan bersama. Kesuksesan sejati berdampak pada kehidupan sendiri, sesama dan alam semesta.
Dua pertiga pekerjaan yang dikenal saat ini akan lenyap, yang hilang job bukan work. Work (pekerjaan) akan tetap ada. Work akan terus berkembang tapi job-nya berbeda. Dunia akan tetap membutuhkan dokter, namun bukan dokter yang bekerja dengan cara yang lama.
Dokter harus bisa menggunakan teknologi baru berbasiskan AI (Artificial Intellegence), robot atau IT. Oleh karena itu pelajar perlu memahami bagaimana mereka menangani suatu perubahan.
Guru hadir memberikan panduan, sikap mental baru mengedepankan inovasi, deep understanding (pemahaman mendalam), dan deep reasoning (pemikiran mendalam).
Manusia tidak hanya butuh IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient), melainkan juga AQ (Adversity Quotient). AQ merupakan kekuatan manusia untuk bertahan dalam segala kesulitan serta mengubahnya menjadi pemacu semangat.
Seorang dengan AQ yang mumpuni tidak akan menyerah dengan nasib. Nasib yang menimpanya adalah cara Tuhan meningkatkan kapasitas. Tidak jarang potensi terbaik manusia muncul ketika kesulitan hidup datang.
Itulah lima softskill yang perlu ditanamkan guru kece untuk membentuk anak didiknya menuju kesuksesan.