Pada saat Viktor sedang sakit dan diberi penangguhan waktu untuk tidak bekerja, dokter kepala di kamp datang meminta bantuannya untuk menangani tahanan penderita tifus.
Beberapa teman Viktor menyarankan agar ia menolak, tetapi Viktor memutuskan menyanggupinya. Viktor menyadari bahwa toh ia akan mati, entah dengan cara bagaimana. Jika ia memang harus mati, setidaknya kematiannya punya arti. Begitu pikir Viktor.
Nama Viktor pernah masuk ke dalam daftar pengiriman ke kamp istirahat untuk membantu urusan kesehatan. Sebenarnya, ada desas-desus apakah kamp istirahat itu adalah kamar gas atau kamp yang benar-benar berisi orang sakit.
Dokter kepala yang menyukai Viktor menawarkan agar nama Viktor dicoret dari daftar, tetapi Viktor menolak. Motivasi Viktor sama. Terlepas apakah daftar itu tipuan atau bukan, ia ingin membantu orang-orang sakit.
Viktor pun pernah mengalami pilihan yang ia anggap seperti neraka. Saat pertempuran kian mendekati kamp, ada kesempatan bagi para tahanan untuk melarikan diri. Tepat sebelum melarikan diri, Viktor sempat masuk ke kamp istirahat.
Salah seorang pasiennya yang hampir mati melihatnya dan bertanya apakah Viktor akan pergi. Hatinya bergejolak, tetapi kemudian ia menjawab tidak. Pada akhirnya, ia memilih untuk setia kepada pasiennya.
Kamp konsentrasi telah membuat para tahanan takut untuk berpikir dan bertindak. Tinggal di tempat yang tidak mengenal sisi kemanusiaan dan menjadikan manusia dimanfaatkan hingga titik darah penghabisan sebelum akhirnya dimusnahkan, maka orang itu akan sangat mudah menyerah pada nasib.
Jika orang itu tidak berjuang keras melawan pengaruh ini, ia tidak mampu mempertahankan harga dirinya. Ia pun akan kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, yakni makhluk hidup yang menggunakan pikiran, memiliki kebebasan batin, dan menjunjung nilai-nilai pribadi. Di mata Viktor, derajat hidup orang tersebut turun menjadi setingkat hewan.