Meski akhirnya hanya lulus sekolah rendah, tapi ide dan pikiran Kartinitidak bisa dianggap remeh. Hal itu disebabkan karena Sang Ayah memberikan kebebasan dalam hal pendidikan di rumah. Korespondensi yang Kartini lakukan dengan banyak orang Belanda juga semakin mengasah kecerdasannya.
Selain buah karya berupa artikel dan sebuah buku tentang batik, hal lain yang membuat Kartini berbeda dengan pahlawan lain adalah keberadaan surat-suratnya yang bisa dibaca oleh banyak orang. Dari sana kita bisa mengetahui bagaimana pikiran dan sikap Kartini.
Surat-surat tersebut lalu dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht pada tahun 1911. Buku tersebut terwujud berkat jasa Abendanon. Penerbit Balai Pustaka lalu menerjemahkannya pada tahun 1922 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Tak hanya surat Kartini, di dalamnya terdapat juga surat adik dan ayahnya.
Dari sekian banyak surat yang Kartini kirimkan, Abendanon tidak menerbitkan semuanya. Surat yang menyinggung urusan pribadi, serta kecaman pada kebijakan pemerintah Belanda tidak dimasukkan.
Ternyata situasi sosial-politik di Jawa saat itu juga berpengaruh pada proses penerbitan surat-surat tersebut
Kartini juga sering berkorespondensi dengan Stella, sahabat penanya di Belanda. Surat-surat keduanya membahas banyak hal seperti adat istiadat di Jawa, bahaya candu, masa pingitan, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi dan sebagainya.
Dari sekitar 25 surat, beberapa kartu pos, dan sebuah buku, hanya 14 surat yang Stella serahkan untuk diterbitkan. Alasannya, Stella ragu apakah layak menerbitkan surat-surat yang bersifat pribadi itu.