Pendidikan di Indonesia cenderung memiliki orientasi pembentukan SDM pencari kerja, bukan pencipta kerja. Banyak diantara mereka memiliki tingkat kemandirian dan semangat kewirausahaan yang rendah. Persentase individu yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, apalagi mempekerjakan orang lain, masih rendah.
Seorang wirausaha dapat menggunakan potensi yang dimilikinya secara optimal. Dengan pola pikirnya, ia berkesempatan untuk mewujudkan impian dan menciptakan perubahan. Selain itu, wirausaha dapat berkontribusi kepada masyarakat, mengerjakan sesuatu yang disukai tanpa diperintah orang. Jika ia harus mengikuti perintah, perintah itu datangnya dari pelanggan.
Sedangkan resiko yang harus diterima seorang wirausaha yakni dihadapkan pada ketidakpastian pendapatan, bisnis yang tidak memberikan jaminan keuntungan yang cukup untuk bertahan hidup. Untuk menjalankan usahanya, seorang wirausaha dituntut bekerja keras serta bekerja dengan jam kerja yang relatif lebih panjang, khususnya saat awal merintis.
Di masa awal merintis usaha, seringkali keputusasaan muncul. Sebab kewirausahaan sangat membutuhkan dedikasi, disiplin dan keuletan. Tanggung jawab yang dimiliki juga kompleks karena dituntut untuk membuat keputusan mengenai isu-isu di luar bidang yang dikuasainya.
Dalam pendidikan kewirausahaan, konsep belajar student center learning (SCL) sangatlah penting. Paradigma pembelajaran tak lagi berpusat pada pengajar, tetapi mahasiswa. Ini dilakukan agar mahasiswa dapat terlibat secara aktif membangun pengetahuan, sikap dan perilaku.
Dalam metode SCL, terdapat beberapa metode yang menuntut partisipasi aktif mahasiswa. Diantaranya berbagi informasi (information sharing) dengan cara brainstorming, kooperatif, kolaboratif, diskusi kelompok, dan seminar. Lalu belajar dari pengalaman (experience based) melalui simulasi, roleplay, dan pertemuan kelompok. Selain itu, pembelajaran melalui problem solving based dengan cara studi kasus, tutorial dan lokakarya.