Seringkali orangtua bertindak sewenang-wenang terhadap anak karena meremehkan jiwa anak yang masih lemah dan tak bisa berkuasa atas pertahanan mereka sendiri. Karena korbannya "cuma anak-anak", kesedihan yang menimpa makhluk kecil ini pun dianggap sepele.
Masalahnya,sejumlah bentuk penghinaan dan pelecehan jiwa terhadap anak-anak ini kelak akan diwariskan dari generasi ke generasi. Alhasil, orangtua telah merusak jiwa seorang anak yang lembut dan peka.
Dalam banyak kasus, penderitaan pada masa kanak-kanak seseorang tetap tersimpan jauh di dasar alam bawah sadarnya. Sehingga seringkali menjadi sumber penghinaan baru bahkan penghinaan yang paling tidak kentara bagi generasi berikutnya.
Bermacam-macam mekanisme pertahanan akan dipakai untuk membenarkan tindakan mereka itu,antara lain dengan cara: penyangkalan dari penderitaan mereka sendiri, rasionalisasi yang dipaksakan, atau pengalihan kesalahan.
Dibalik itu semua sebenarnya ada suatu mekanisme untuk mengubah penderitaan yang direpresi menjadi tingkah laku aktif.
Untuk menghentikan perlakuan tersebut,orangtua harus mencoba 'bermain peran' .Dengan mengandaikan diri mereka ada di posisi sang anak.
Maka coba rasakanlah penderitaannya, nestapanya,frustasinya yang kerapkali mengguncang jiwa anak. Setelah ini,orangtua akan menyesal sejadi-jadinya atas sejumlah perlakuannya kepada makhluk tak berdosa itu.
Perlu diketahui, kebutuhan yang paling urgen bagi seorang anak adalah keberadaan ibunya disisinya. Sayangnya, terlalu sering harapan anak tersebut muncul sebagai simbol-simbol yang menandakan kebutuhan-kebutuhan yang direpresi.
“Seorang Ibu tidak akan benar-benar menghargai anaknya, jika ia tak menyadari betapa dalam rasa malu yang telah ia tumbuhkan dalam diri anaknya lewat ungkapan-ungkapan sinisnya.”
Alice Miller